Selasa, 29 Juni 2010

FANFICT_MIMPI SANG BINTANG-PART 16: OYASUMINASAI

LANJUTAN DARI FANFICT_MIMPI SANG BINTANG-PART 15 : MAKAN MALAM

PART 16 : OYASUMINASAI



Cakka berdiam diri di kamar, membungkuk, tangannya menelungkup.
Dia kesal sekali. Kamar miliknya hanya ada dia sendiri.
Mungkin dia sekamar dengan murid regular. Bukan murid yang masuk lewat jalur beasiswa dan ujian masuk pusat yang registrasi dan harus datang lebih awal.
Murid regular baru registrasi besok.

Dia memandang kamar yang acak-acakan. Membayangkan kejadian tadi siang dan di ruang makan.
Dia bertemu dengan empat teman barunya yang dia temui saat salah masuk kamar, dia kesal karena dua orang diantara mereka tampak sangat mengolok-olok dia.

Cakka mengeluarkan handphone dari balik bantal. Dia menekan nomor yang sangat dia hapal. Dia lalu menelepon ayahnya.
“Ayah?” Cakka berbaring. Terdengar suara dari seberang telepon.
“Aku baik-baik aja, yah. Tapi hari pertama gak bagus nih.”
“Yah gitu deh. Aku malu kalo berhadapan sama orang belum kenal. Malah Cakka kesannya sombong.” Suara Cakka terdengar sedih. Dia memang kesulitan mempagari dirinya, agar tidak menutupi malunya dengan berlagak angkuh dan sok cuek.

“Iya, Cakka tahu, tapi aku bingung kenapa kayak gini, Yah. Sekarang ayah dimana?” Cakka berharap, ayahnya masih di Bandung.
“Oh di kereta. Hati-hati, Yah. Salam buat Kak Elang, Cakka kangen.” Mata Cakka nanar menatap atap kasur. “Okeh yah. Miss u. Assalamu’alaikum.”
Cakka menutup obrolan, mengotak atik handphone, lalu menyembunyikan di bawah kasur.
Berbaring ke samping, mengalaskan tangan untuk kepala.
Matanya kosong, melamun, merasa sendiri. Sepi.

____________________________________________________________________________________

Zahra sedang menyisir rambut panjang Sivia.
Mereka duduk di atas karpet milik Sivia yang hangat karena tebal dan empuk.
Oik mengikir kuku Agni dengan three step manicure set.
Agni pasrah dipercantik, karena kini dia kini berada di lingkungan cewek yang peduli dengan penampilan.

“Tadi udah belum ketemu sama temenmu itu?” Tanya Agni. Oik mengerutkan kening, konsentrasi membuat kuku Agni bening mengkilat.
“Gak jadi, aku ilfil duluan.” Jawabnya, enteng.
“Oh cowok yang mirip Glenn Fredly itu, ya? Dia terus-terusan iseng bikin kamu ngambek.” Agni terkekeh. Oik manyun.

“Knock knock knock, Glenn Fredly apaan, buu. Weird gitu juga. Glendotan iyah. Malas banget gak sihh, udah gitu, sok jaga-jaga sikap di depan kakak kelas. Benar-benar monster pembunuh karakter. Aku hampir mau muntah lihat dia cengengesan terus. Kalau aku maksain diri buat tanya dia soal denah kamar, aku pasti akan lalui masa pubertas dengan statis alias monoton!!” Oik lebay.

Agni makin terkekeh. Oik agak pundung, berhenti mempercantik kuku Agni. Agni merayu, lalu Oik pun luluh dan manicure-an lagi.

“Iya aku tadi lihat dia ngegodain kamu, lho, Oik. Anaknya kocak, ya?” Ucap Sivia. Oik memutar bola matanya.
“Ihh. Males.” Sahut Oik, dia melirik Zahra yang agak diam setelah makan malam.

Zahra masih excited ketemu Debo.
“Kalo kamu gimana Zahra?” Zahra tergagap. “Tadi kamu liatin cowok yang seberang aku terus, deh.” Sivia tanpa basa-basi bertanya, muka Zahra terasa panas.
“I-iya, itu temenku, di desa. Dia tetanggaku. Namanya Debo.”
“Lucu yah?” Ucap Sivia, bermaksud menggoda. Zahra merenggut.
“Kamu jadi gak tanya soal penataan ruang ke dia.” Kata Oik.

Zahra menarik nafas lemah.
“Belum, aku malu. Lagipula tadi habis makan malam. Anak cowok langsung digiring sama kakak kelas ke asrama.”
“Digiring? Kayak bebek aja.” Timpal Agni.

Zahra seperti menyerah, dia tidak suka dipojokkan dan digoda, karena dia sedang tidak bisa berlagak sok cuek.
“Ih, Debo tuh baik tahu. Ngajinya bagus, deh. Dia temen ngaji juga. Anaknya gitu, pendiem. Aku kadang suka bingung kalau ketemu dia. Kalo di tanya baru jawab sekenanya. Kalo gak ditanya, ya gak ngomong.” Terang Zahra, ingin memperbaiki posisinya, agak tidak semakin tersudut.

“Pasif gitu. Aku gak betah sama cowo pasif.” Cetus Oik.
Tapi, dia pun menambahkan dalam hati, “Tapi gak suka juga sama cowok kelewat aktif dan jahilnya minta ampun kayak Patton.”

“Jadi kamu suka cowok agresif?” Agni tampak kaget. Oik terperangah.
“Bukan, bukan, maksud aku, cowok kan enaknya lebih terbuka, lebih open, yang memulai suatu percakapan. Kan gak enak kalo kita harus terus ngajak ngobrol duluan. Ntar di bilang kecentilan deh.” Jelas Oik. Zahra termangu. Sivia mengikat rambutnya.
“Iya sih..” Agni dan Sivia manggut-manggut gak jelas.

“Nggak ah. Justru cowok dingin, tuh, bikin penasaran!” Bela Zahra.
Mau bagaimana lagi, dia tidak bermaksud agresif. Tapi, kalau dia tidak memulai, Debo tak akan pernah memberinya harapan buat ngobrol. Mungkin, Debo tidak pernah butuh dia. Zahra agak sedih memikirkannya.

“Kayaknya, Zahra kagum ya sama Debo?” Agni menangkap raut wajah Zahra. Zahra mengerjapkan matanya. Tapi, Zahra mengangguk.
“Yup. Awalnya, aku pikir ini cuma kekaguman sesaat yang akan ilang gitu, aja. Ternyata, malah bertahan hingga sekarang. Malah, aku semakin semangat masuk GB karena dia keterima lewat jalur beasiswa. Tapi, aku kesal sama dia, dia tuh gak peka banget, gak ada upaya sedikitpun buat nanggepin aku.” Zahra berkata, murung. Agni menggeleng.

“Kenapa, sih, kamu bisa sampai tertarik sama Debo? Aku dulu pernah naksir cowok, karena dia jago matematika, tapi langsung males pas tahu dia suka kentut dan pup di celana. Amit-amitttt!!” Seloroh Sivia.
Semua terkikik, agak ngeri bayanginnya. Zahra menyimpan sisir di meja rias.
Lalu duduk di karpet, menyenderkan kepala ke samping ranjang.

“Gak tau. Aku sendiri bingung. Terlalu banyak alasan sih. Jadi, aku gak tahu alasan tepatnya gimana. Aku juga capek, sih.”
“Cieeeee..” Goda Sivia, Agni dan Oik kompak. Zahra sebel.
“Apa sih cie… Cie.. Oh iya, aku punya puisi yang terinspirasi dan di dedikasi buat dia lho.?” Ucap Zahra, pamer. Sivia menggeser duduknya dan gelendotan di bahu Zahra.
“Kamu suka buat puisi ya?” Tanyanya. Zahra menempelkan kepalanya ke kepala Sivia, matanya menatap satu titik.

Ada harapan yang senantiasa tersimpan rapi dalam hatiku.
Harapan yang tercipta saat aku mengenalmu.
Harapan yang memberiku rasa bahagia.
Harapan yang memberiku kekuatan.
Harapan yang membuatku bermimpi indah.
Harapan semu yang memberi rasa bahagia yang nyata.
Harapan yang mampu membuatku tersenyum tulus.

Harapan.


“So sweet….” Koor mereka. Oik bertepuk tangan. Agni bahkan bersiul nyaring. Kuping Sivia sampai mendenging.

“Aku sih belum punya alasan buat tertarik ma cowok.” Kata Oik, serius.
Agni bertanya dalam hati “Perasaan tadi Oik bilang gak suka cowok pasif, sekarang bilang gak ada alasan buat suka sama cowok. She’s contradicting herself!”

“Kan gak perlu alasan Oik.” Tepisnya. Oik menoleh, menggeleng, yakin.
“Cowok itu mengecewakan!” Seru Oik.
Agni ingin bilang “Bagaimana dengan ayah dan saudara cowok kamu”, Tapi urung, Oik tampak terdiam. Zahra bergeser.

“Kita punya pendapat masing-masing. Kita harus menghargai tiap pendapat. Ya, kan?” Oik mengembangkan senyum.
“Yupzy.“ Seru Sivia.

Agni penasaran apa Sivia pernah naksir cowok, karena Sivia lugu gitu. Tapi, Sivia sendiri bertanya, apakah Agni pernah naksir cowok, kan, Agni tomboy gitu. Mereka tersenyum sendiri.
Terdengar suara pintu yang di ketuk. Sivia membukakan kunci.

“Ya, kak?” Angel yang datang. Dia mencepol rambutnya, seperti boneka.
“Maaf, aku Angel. Cuma ingin ngasih tahu. Aku kan kakak pengasuh kamar ini. Sekarang udah jam 10, lebih baik kalian cepet tidur. Dan kalau masih mau ngobrol pun, jangan terlalu berisik, ya? Kamar di kunci dari dalam. Tapi jangan dibiarkan di dalam lubang kunci. Besok pagi, aku akan mengetuk pintu. Kalau kalian belum membukakan, aku akan buka pintu dari luar, untuk membangunkan kalian. Untuk solat jamaah Subuh di mesjid.” Angel tampak sangat menghapal kalimat tadi.
Dia berkata runut, dan tak mau salah satu kata pun. Agni malah melongo “Wow..”

“Oke kak.” Sivia tidak mau ambil pusing.
“Kalian gak usah khawatir. Yang punya kunci ini, adalah kalian, aku, dan pengawas. Cowok mah HARRRAAMM masuk ke asrama cewek!!” Tambah Angel. Semua sudah sangat tahu peraturan itu.
“Makasih ya, Kak”
“Sip. Maaf yah udah ganggu. Good nite..”

Angel pergi mengejar Shila. Seperti lega sudah menunaikan tugasnya.

Sivia menutup pintu, mengunci dan meletakkan kunci di atas meja rias yang penuh dengan peralatan ‘sakti’ ke empat gadis. Sivia berbaring di kasurnya.
“Kak Angel cantik, ya?” Gumamnya.

Oik mengakhiri treatmentnya.
Agni menatap kukunya, hanya senyum kecut. Dia tidak mengerti kenapa perlu membuat kuku menjadi bercahaya. Toh, tak ada yang sadar kalau tidak dipamerkan.
Dan, cewek mana yang rela mempermalukan dirinya dengan berkoar koar memamerkan kuku bercahaya hasil perawatan gratis teman sekamar?
Oik mungkin akan menjawab. “Rasa puas ini takkan terbeli, dan kau yang menikmati, akan tahu letak dari rasa bangga memiliki kuku indah dan menyilaukan!”

“Aku mau tidur duluan yah.” Ucap Zahra. Dia menyelimuti tubuhnya. Zahra mengibas rambutnya.
“Okeh. Met bubo ya, Ra?” Ucap Agni.
“Berdo’a dulu!!” Oik bawel. Zahra tertawa centil.
“Oyasumi..” Seru Sivia. Zahra membalikkan tubuhnya ke arah dinding.
“Oyasumi nasai.”


____________________________________________________________________________________
LANJUT KE FANFICT_MIMPI SANG BINTANG-PART 17 : SOMEONE IN DARKNESS

FANFICT_MIMPI SANG BINTANG-PART 15 : MAKAN MALAM

LANJUTAN DARI FANFICT_MIMPI SANG BINTANG-PART 14 : BATTLE CHOIR

PART 15 : MAKAN MALAM


“Gema Bhakti mengadaptasi konsep Sekolah yang Ramah terhadap Anak, konsep yang dipelopori Marc Wetz penanggung jawab di bidang pendidikan di kantor perwakilan UNICEF untuk wilayah Thailand Utara yang kini adalah Perwakilan Negara untuk Enfants et Developement.
Manfaat dari penerapan konsep ini sangatlah jelas. Apakah kita ingin mengekspos anak-anak kepada kritikan pedas, siksaan fisik jika siswa tidak berpartisipasi dalam kelas karena keingintahuan dan bersikap proaktif seperti ketika mereka belajar?.

Banyak alasan mengapa anak-anak kesulitan untuk bersekolah dan kesulitan untuk tetap meneruskan sekolah. Ini juga menjadi rujukan adanya program beasiswa penuh di Gema Bhakti, merekrut siswa pendaftar berprestasi namun kemampuannya kurang dalam perekonomian tapi memiliki inisiatif dan motivasi tinggi, juga beasiswa bagi anak yang sangat berprestasi dan memiliki potensi besar.
Fasilitas lengkap yang tersedia di Gema Bhakti dengan adanya sistem asrama sekolah, diharapkan dapat meningkatkan standar hidup serta membantu mencari solusi rendahnya tingkat kehadiran di sekolah. Di asrama, diharapkan menjadi lingkungan belajar lebih kondusif, dan siswa lebih terawasi dan memudahkan akses untuk kepentingan pembelajaran dan kemampuannya.

Namun, Gema Bhakti tidak hanya memfokuskan pada persiapan kelas yang aksesibel dalam lingkungan fisiknya saja. Termasuk juga lingkungan sosial-psikologis. Contohnya, pembelajaran aktif, metodologi pengajaran yang terpusat pada anak dan keterampilan hidup, itu penting dan harus diterapkan secara tepat sejak awal. Partisipasi dari anak-anak, akan memberikan kontribusi signifikan terhadap tumbuhnya rasa memiliki kepada inisiatif sekolah ramah terhadap anak.
Bukti proses partisipasi adalah dengan melibatkan siswa sejak awal dalam sensitisasi Konvensi Hak Anak [KHA], visualisasi `sekolah impian' mereka, menyusun kriteria sekolah mereka sendiri, penilaian sekolah sendiri, menyusun rencana pengembangan sekolah tahunan dan monitoring proses implementasi seyogyanya dengan menggunakan perangkat monitoring yang tepat dan diadaptasikan bagi anak-anak.”


Seluruh siswa terdiam. Ada yang manggut-manggut, ada yang tatapan kosong.
Irsyad menahan kantuknya, dan dia sendiri tidak terlalu mengerti, jadi dia sudah merencanakan sejumlah pertanyaan yang akan diajukan pada kakak asuh atau pengawas inti dari pidato wakil direktur Gema Bhakti, yang merupakan pengusaha di Indonesia, yang melakukan joint venture dengan pengusaha Luar Negeri untuk mendirikan yayasan Gema Bhakti.

Setelah menyalami beberapa guru dan staff juga beberapa murid, Wakil pamit karena harus pergi ke Jakarta, katanya di Gema Bhakti pusat, yaitu sekolah asrama Gema Bhakti Sekolah Menengah Atas, Sekolah Dasar dan Taman Kanak-Kanak, akan mengadakan upacara pembukaan, sebuah prosesi tahunan yang cukup prestisius.

Kepala sekolah dan kepala asrama, meminta siswa baru mengaspirasikan keinginannya dalam secarik kertas, tentang sekolah yang di inginkan, dan membagikan pulpen dan katanya anggap itu ada hadiah pertama atas keberhasilan mereka lulus di Gema Bhakti.
Debo menuliskan, bahwa dia ingin sekolah yang mendukung bakat dan minatnya, mampu mengarahkan lebih tepat pada kemampuannya. Serta dia ingin adanya keterbukaan antara murid dan pengajar, agar bisa lebih santai dalam menyampaikan kesulitan dalam pembelajaran.

Irsyad malah menulis lebih banyak, dia bahkan menuliskan ingin adanya unit televisi di tiap kamar. Dia terus menulis hingga kertasnya penuh, lalu mengagumi karya tulisnya. Dan mencium pulpen.

Suara sendok dan garpu berdentang di atas piring. Siswa baru, dan beberapa siswa lama yang bertugas menjadi panitia, OSIS dan pemandu.
Ada beberapa guru dan staff sekolah, dan petinggi sekolah.
Mereka makan malam dengan tertib. Tak ada yang makan berdecap. Bahkan beberapa anak tampak takut dan agak canggung.
Debo menyuapkan nasi melirik Irsyad yang berkutat dengan ayam.
Dia memperhatikan petinggi yang sudah setengah baya, mereka adalah kaum eksekutif yang membuat Gema Bhakti maju.

Para kakak kelas dengan seragam warna batik biru dan berdasi polos. Juga staff yang juga berseragam sama. Siswa baru memakai pakaian bebas namun sopan. Kebanyakan memakai kemeja. Dan celana jeans biasa.

Tadi sebelum makan malam, mereka solat Magrib bersama. Dan mendengarkan beberapa sambutan dari kepala sekolah Mrs Juwita dan kepala asrama Mrs Shinta mengenai beberapa peraturan umum.

Debo juga mendapat satu map berisi peraturan dan panduan. Siswa baru duduk berhadapan.
Debo mencoba berani melihat kearah siswi. Lalu dia beradu pandang dengan Zahra. Zahra tersenyum manis. Debo menunduk lagi.

Debo juga melihat cewek sinis yang tampak aneh saat dia dicium Mang adi.
Tapi cewek itu seperti sedang melihat Patton dengan muka sebal. Patton diam-diam menyeringai dan tangannya ‘peace’ lalu cepat-cepat sok baik makan.

Table manner Patton membuat Debo kagum. Dia mencontek beberapa perlakuan Patton, tapi tidak termasuk aksi meledek jauh nya pada si cewek sinis.

Makan malam ini istimewa.
Debo merasa mendapatkan keluarga baru. Beberapa kursi dan meja panjang masih kosong. Karena siswa masih banyak yang liburan. Staff juga guru-guru juga belum datang lengkap.

Debo merasa haru. Dia tidak pernah terbayang akan berada dengan real di Gema Bhakti dan menjadi bagian dari entitas megah seperti ini.

___________________________________________________________________________________
LANJUT KE FANFICT_MIMPI SANG BINTANG-PART 16 : OYASUMINASAI

FANFICT_MIMPI SANG BINTANG-PART 14 : BATTLE CHOIR

LANJUTAN DARI FANFICT_MIMPI SANG BINTANG-PART 13 : KAMAR GADIS

PART 14 : BATTLE CHOIR


“Jangan lari-lari kayak gitu Cakka. Nanti kamu jatoh!” Seru Shila.
Dia menjadi pemandu Cakka. Dan agak kewalahan dengan Cakka yang menurutnya hyperaktif.

Cakka dongkol, karena Shila memperlakukannya seperti anak kecil. Shila mendorong troli agak cepat.
Cakka memasukkan kedua tangan ke saku, menoleh melihat-lihat sekitar.

“Oh iya, aku tunjukkin dining room ya?” Shila berbelok hendak ke dining room yang ada di bawah tangga menuju asrama putri.
“Gak usah deh, langsung ke kamarku aja. Gue capek!” Tepis Cakka.
Shila mendorong trolly lagi mengikuti Cakka yang berjalan cepat.

“Oke.” Shila kesal.
“Kamar kamu di asrama selatan, South Prince Palace, itu asrama khusus cowok. Kamu kesana sendiri aja ya. Cewek kan gak boleh masuk kesana.” Cakka menghentikan langkahnya.
“Gimana sih, gak tanggung jawab gitu!” Semprotnya.
Shila mencari-cari temannya yg cowo. Tapi, tidak ada yang nganggur, semua sibuk menjadi pemandu dan panitia.
Dia lalu menghampiri ruangan dengan meja panjang seperti resepsionis. Itu namanya ruang pengawas. Disana ada seorang Ibu-Ibu sedang serius di depan computer. Ibu kurus dengan kacamata berbingkai emas.

“Mrs Shinta. Saya harus mengantar siswa laki laki baru ke asrama.”
“Beritahu saja, di lantai berapa, dan letaknya dimana, dia sudah punya kamar kan?” sahut Mrs Shinta tanpa mengalihkan pandangannya dari layar.
Cakka mendekat.

“Saya tidak tahu, Bu. Saya masih gelap soal lokasi-lokasi dan peta gema Bhakti, Buu..” Cetus Cakka. Shila berjengit, takut sikap Cakka yg menurutnya kurang sopan membuat Mrs Shinta tersinggung dan marah.
Mrs shinta terkenal agak arogan dan beberapa anak malas berurusan dengan beliau.
Mrs Shinta mengangkat wajahnya, awalnya seperti akan marah, dia memandangi Cakka dengan cermat. Alis Cakka bertaut.

“Kamu putranya Bapak Tunggul Dhewa, ya?” Tanya Mrs Shinta. Tiba-tiba. Cakka merenggut, memandang Mrs Shinta yang tersenyum padanya.
“Kok tau sih? Aneh!” Shila juga bingung. Dia baru pertama kali melihat senyum Mrs Shinta.
“Wajahmu mirip Pak Tunggul.” Ujar Mrs Shinta, ragu.
“Terus..” Cakka, cuai. Mrs Shinta tak berbicara jauh, dia melirik Shila yang melongo.
“Ya sudah antarkan saja ke kamarnya. Saya tidak bisa menemani, karena tidak ada petugas yg menggantikan disini. Tapi jangan lama-lama ya.”
“Terima kasih, Mrs.” Shila mendorong trolly lagi, menengok pada Mrs Shinta yang tersenyum menatap layar computer.

Shila mendorong troli ke dalam lift. Cakka menyusul malas-malas. Lantai berapa?” Tanya Cakka.
Shila melihat ke tulisan di atas pintu lift. Kamar 20. Di lantai 3.”

“Lama ah.” Sewot Cakka. Shila menabahkan mentalnya yang sebenarnya ingin emosi.
“Kamu anak Pak Tunggul?” Tanya Shila.
“Iya. Kenapa?”
“Gak. Memang Pak Tunggul siapa?” Shila jadi kikuk sendiri.
“Bokap gue..” Jawab Cakka, dingin.
“Maksud aku, kok, Mrs shinta bisa kenal kamu?” Kejar Shila.
“Gue gak tau, Shilaaaaa..” Cakka seperti capek. Shila mengunci bibirnya agar berhenti menanyakan hal-hal yang tidak penting.

Pintu lift terbuka. Shila terus bersabar. Cakka berjalan mendahului, dia lalu diam di depan kamar 19, dia tidak teliti, melihat nomor yang terpajang di pintu.
Dari lift yg satu lagi, terbuka, muncul Irsyad dan Patton. Mereka cuma senyum-senyum lalu masuk ke kamar di hadapan Cakka berdiri tegap.

Shila sedang menalikan tali sepatunya yang terlepas di dekat troli.
Cakka masuk ke kamar 19, yang pintunya baru dimasuki Irsyad dan Patton. Angkuh. Debo dan Obiet sedang melipat selimut berdua, menoleh. Irsyad juga menegok. Dan melihat Cakka, heran.

“Kok udah ada empat orang, sih? Emangnya ada satu kasur berdua gitu?’ Cakka bertanya tanpa basa basi. Memandang satu persatu muka-muka yang bingung melihatnya.
Shila tidak menahu dan baru pertama kali ke asrama cowok mendorong troli, melongok ke dalam kamar.

“Eh, Shila. Emang ada satu kasur berdua. Ngeri ah. Ogah, lama-lama bisa jadi jeruk makan jeruk kita!” Cakka senewen.
“Nggak, kok. Memangnya kenapa gitu?” Jawab Shila.

“Maaf ada apa ya?’ Interupsi Obiet.
“Kamar gue disini. Kayakna ada yang salah kamar, deh, di antara lo semua.”
“Kami memang di kamar ini kok. Tadi saya diantar oleh pemandu langsung.” Tepis Obiet, sambil mendekat.
Patton agak jengah. Soalnya hanya dia yg mengembara mencari kamar sendiri. Tapi dia yakin ini adalah kamarnya.
Shila berdecak. Obiet memperhatikan.

“Kak, memangnya anak ini,” “Gue Cakka!” Cakka memotong. Shila menyahut, “Aku Ashila, panggil aku Shila.” Polos.
“Ya, aku Obiet, Cakka di kamar berapa?” Tanya Obiet
“Cakka...”
“Di kamar ini. Aduhh, gimana sih manajemennya. Aku lapor ke direktur nih.” Keluh Cakka.
“Jangan.” Seru Sila. Dia ketakutan. “Cakka di kamar20. Maaf aku baru kali ini ke asrama cowok. Jadi gak tahu, penempatan ruangannya agak beda dengan asrama Srikandi Chambers.”
Obiet berdiri lalu berjalan ke daun pintu. Shila mundur memberi ruang.

“Ini kamar 19, Kak. Kalo 20 di samping kami.” Obiet menunjukkan pintu kamar yang tertutup rapat.
Kamar mandi di asrama putra memang di apit oleh 3 kamar di masing-masing sisi, setiap tiga kamar, ada kamar mandi lengkap. Dan, tidak memiliki dapur.

Shila mengangguk angguk. Cakka tampak agak malu tapi dia tutupi dengan bergeram.
Irsyad ketawa tanpa suara. Patton malah terkekeh agak keras. Hal ini membuat Cakka kesal.

“Malu nih yeee. Salah, ngotot pula. Mending langsung kabur deh ke planet Pluto!!” Debo menaruh telunjuk di bibirnya “Stt” supaya Patton tidak meledek terus, takutnya belum apa-apa udah ada permusuhan.

Shila mendorong troli namun, malang. Kakinya tergilas roda. Dia segera berlutut dan mengaduh. Troli berisi barang-barang yang tampak sangat sesak dan berat, menggilas dan menyeret kaki Shila, sangat menyakitkan, pastinya. Shila menjerit.
“Aduh, lecet nih..” Rengeknya, jongkok mengelus septunya yang kiri.

Obiet segera menghampiri dan mendorong troli, agar menjauh. Debo juga beranjak, ingin membantu. “Harusnya kamu yang bawa troli ini. Masa nyuruh cewek sih?? “ Kata Debo. Cakka melotot. “Terserah gue lah. Dia yang mau kok.”

Obiet membantu Shila membuka sepatu dan kaus kaki. Melihat luka. Karena ada bercak darah di kaus kaki Shila. Memang kulitnya agak lecet, kisut, pasti perih. Shila meringis pelan.

“Saya antar ke klinik ya, Kak? Harus segera di obati. Takutnya infeksi dan lama deh sembuhnya.” Analisis Obiet. Debo mendukung.
“Aduh makasih ya.” Shila jadi serba salah. Obiet membantu Shila berdiri, dan membawa sepatu Shila sebelah kiri.
“De, aku mau antar kak sila dulu ya.” Pamitnya. Shila, mengaduh, berjingkat-jingkat.
“Ya udah, biar tuan muda ini aku antar ke kamar.” Ucap Debo, tanpa maksud apa-apa.
“Ga usah, gue bisa sendiri.” Tolak Cakka kesal.
Dia mendorong troli terburu-buru. Debo angkat bahu. Irsyad ketawa-ketawa bersama Patton.
Sementara Obiet membantu Shila memapah berjalan ke lift, menekan tombol turun.

“Kenapa ketawa, Syad?” Tegur Debo.
“Gaaa..” Irsyad mengingkari sikapnya. Patton cekikikan.
“Itu, tadi siapa tadi?” Tanyanya.
“Cakka”
“Tuh anak ngebossy gitu. Tapi apes ya. Pede banget tadi bilang ini kamar dia!” komentar Patton, karena dia sempet khawatir, sudah masuk kamar yang salah.
“Cuma salah faham. Gak perlu terus di bahas.” Debo memperingatkan.
“Perlu, De. Ini hiburan, De.” Irsyad jahil.
“Iya, tapi kan gak enak, kalo baru hari pertama kita sudah punya musuh. Kalau kita di posisi dia kita juga pasti malu lah.”
“Paling gak tadi minta maaf, lah. Permisi nggak, pamit nggak, kayak jelangkung aja.” Tukas Patton. Irsyad setuju, mereka toast.
“Dia lupa kali.”
“Tadi pemandu dia kasian, jadi korban tuh. Gawat juga ya. Cowok kasar harus dimusnahkan!! Aku donk, pria sejati” Irsyad bangga.
“Iya, pemandunya cantik. Kayakna si Obiet naksir, inget gak tadi ekspresi dia pas Shila jerit-jerit. Kayak abis dirampok aja.”

Patton dan Irsyad ketawa gak jelas lagi. Debo hanya senyum simpul lalu duduk di kasur.

“Kebetulan aja Shila ada di dekat Obiet, tadi. Kan kasian kalau tidak ditolong.” Jawab Debo, diplomatis. Irsyad jadi keki.
“Ahh kamu mementahkan pernyataan kita mulu!”
Debo angkat bahu lagi.

“Kayaknya musti mandi nih, kan mau ada cara makan malam.” Ucap Debo mengakhiri obrolan mereka yang tidak menghasilkan apapun.
“Tapi kok masih sepi ya?” Irsyad menerawang.
“Ya, soalnya cuma pertemuan dengan wakil direktur sekolah dan beberapa pembantu direktur juga ketua Pembina seperti itulah.”
“Tahu dari mana, De?”
“Nih di jadwal. Makanya jadwal jangan di taro di tas terus, Syad. Kamu bereskan bawaan kamu deh, cepat! Kayak raja minyak, aja, datang langsung lenglang santai-santai.”
Irsyad mau protes, tapi dia patuh. Turun ke bawah, menyentuh tas-tasnya.

“Berarti ada sambutan kayak gitu ya?” Patton meneruskan membereskan barangnya.
“Makan juga.” Irsyad girang.
“Sip deh, sedep!” Patton ikut girang. Debo menggeleng.
Dia lebih baik mundur dari dua karib yang seperti menemukan belahan jiwanya.

“Aku mandi duluan, ya.”
“Ya, silahkan Bung Debo.” Debo keluar membawa ember kecil dan handuk.
“Hati-hati kalo ketemu tuan muda tadi, salam aja. Peluk hangat dan kecup dari pria di ambang batas maksimal ketampanan bernama Icad. Okeh?” Debo mengembungkan pipinya, tidak peduli.
“Dari Patton juga. Cium mesra penuh nuansa cinta.”
“Aduh, sudah dong, kalian ini!!!”

___________________________________________________________________________________

“Makasi ya, Dok.” Ucap Rahmi sambil membantu Shila berjalan keluar dari ruang periksa.

Obiet yang menunggu di bangku panjang, berdiri.
“Sudah, Kak? Baik-baik aja, kan?” Tanyanya sambil melihat kaki Shila yang diperban, sedikit.
“Iya aku gak papa, kok, Cuma lecet dikit aja. Agak perih, sih. Makasih ya udah anter.” Ucap Shila, tulus, menyunggingkan senyumnya.
Wajah Shila yang cantik berbinar. Obiet mengangguk.
Mereka keluar dari klinik. Lalu duduk di bangku panjang dari kayu.

“Jadwal hari ini makan malam aja, kan?” Tanya Shila sambil memakai sepatunya hati-hati. Rahmi mengangguk.
“Iya soalna baru hari pertama dari registrasi, itu pun hanya siswa jalur beasiswa dan Ujian Masuk Pusat, jadi belum ada jadwal yang berkaitan dengan kemahasiswaan.” Jawab Rahmi.
Dia membantu Shila mencopot tali sepatu agak tidak mengekang punggung kakinya.

Dari arah samping datang Angel mendorong kursi roda Riko. Wajah mereka cemas sekali.
“Aduh Shila. Kamu kenapa?” Angel menghambur pada Shila.
Hampir menginjak kakinya. Angel mundur, menelungkupkan tangannya di dada, minta maaf.
“Aku baik-baik aja, Sist. Cuma kelindas roda troli.” Angel menggigit bibir. “Troli kan jumbo gimanaaa gitu. Pasti pedih banget.” Shila hanya tersenyum simpul.

Riko mendekat. “Beib, kamu gak apa apa?” Shila agak malu, karena ada Obiet disana.
Dia ingin sekali hubungannya dengan Riko tidak diketahui publik luas, tapi kebenaran selalu terungkap lebih cepat dari deru angin.
Shila mengangguk pelan. Obiet mendengar sekilas, dia jadi tercenung, berpikir.

“Makanya hati-hati ya. Jangan ceroboh.” Riko berkata tegas, Shila hanya mengangguk.
Riko menyentuh tangan Shila, Rahmi berdeham keras, mereka lalu segera melepasnya.
Obiet agak bingung, dia merasa asing, karena berada di populasi baru.

“Kak, saya mau kembali ke asrama.” Pamit Obiet, karena dia juga harus segera siap-siap untuk makan malam.
“Oh iya, makasih banget ya, Obiet.” Ucap Shila. Riko memandang Obiet. “Dia yang antar aku kesini.” Beritahu Shila. Riko mengangkat alisnya, lalu tersenyum
“Makasih ya, Biet.”
“Ya!”

_________________________________________________________________________________
LANJUT KE FANFICT_MIMPI SANG BINTANG-PART 15 : MAKAN MALAM

FANFICT_MIMPI SANG BINTANG-PART 13 : KAMAR GADIS

LANJUTAN DARI FANFICT_MIMPI SANG BINTANG-PART 12 : THE BEGINNING

PART 13 : KAMAR GADIS


Oik merapikan bawaannya dengan diam, bibirnya terkatup rapat.
Kamar asrama Oik hening. Padahal ada tiga orang disana, namun mereka seolah sibuk dengan aktivitas masing-masing.
Tak ada berani memulai, mungkin malu, canggung atau entahlah. Yang pasti, suasana kamar itu terasa tidak nyaman.

Pintu kamar sengaja terbuka. Hingga akhirnya, muncul seorang anak berambut panjang berponi, memakai bando warna pink.
Kesulitan membawa barang cukup banyak di atas troli, di antar oleh pemandu yang bertubuh tinggi.

“Oke. Zahra, ini kamar kamu. Tuh udah ada temen-temen kamu. Aku pergi dulu ya.” Suaranya agak nge-bass. Zahra mengusap peluh di pelipis.
“Makasi ya, Kak.” Ucapnya, terengah.

Seperti yang sudah ditebak Debo, Zahra berhasil masuk Gema Bhakti melalui jalur ujian masuk pusat.
Di dukung dengan beberapa piagam dan sertifikat mempermudah langkahnya, Zahra memang berprestasi.
Bahkan, nilai ujian dia termasuk lima tertinggi. Zahra mengatakan itu adalah “Debo’s spirit”.

Zahra menghela nafas lalu masuk. Memandang orang-orang yang sudah datang, melempar senyum. Namun, tak ada yang menyambut hangat kedatangannya.
“Assalamu’alaikum, semua. Haii, aku Zahra..” Sapa Zahra, mencabik kesunyian.
Oik menoleh dan mengangguk. Cewek manis berambut pendek menjawab walau pelan. Satu cewe lagi menjawab walau tidak lengkap.
Zahra mengerenyitkan dahi, bingung dengan situasi arogan ini.

Zahra menaruh koper-kopernya ke dalam. Lalu celingukan, tengok kanan kiri.
“Haduhh capeeekkkk. Kalian udah dari tadi ya?” Zahra mulai mencari bahan obrolan. Walau, Zahra agak aneh sendiri karena semua hanya menggangguk.
“Tempat kosong buatku mana nih?” Tanyanya. Dia terus mencari celah agar teman barunya terpancing untuk berbincang dan memulai perkenalan.

Oik menunjuk ke atas. Zahra angguk-angguk. Menyanyi-nyanyi, membongkar koper. Mengeraskan suaranya. Oik mengerling dengan sudut mata, agak jutek. Zahra nge-gap, Oik memalingkan wajah. Zahra nyengir.

“Bajuku taro dimana, ya? Barang-barang lainnya dimana?” Zahra jadi heboh sendiri.
Cewek agak tomboy yang memakai kalung dengan liontin kotak, pasti di dalamnya dapat menyimpan semacam foto, seperti hendak berbicara tapi urung.
Oik berdeham. Dia tampaknya tidak tahan terus membisu, karena aslinya dia cukup bawel.

“Hai, Zahra. Aku Oik. Kami bertiga agak bingung harus gimana, kamu punya saran?” Suara Oik agak nyaring. Zahra tak bisa menahan senyumnya, memamerkan behel. Oik memandangnya tak berkesip, dengan muka berharap.
Rupanya aksi buka mulut Oik memicu anak lainnya berbicara. Speak up, speak up. Batin Zahra. Cewek tomboy beringsut mendekati Zahra.

“Aku Agni. Haii. Aku rasa kita harus rombak tempat ini, supaya lebih teratur dan mudah kalau butuh. Aku tadi udah mikirin, tapi aku liat denah kamar ini agak kacau dan janggal.”
“Setuju.” Seru Zahra ceria. “Oia, nama kamu siapa, kok diem aja sii?”
“A-aku. Sivia. Via.”

Oik tersenyum melihat teman barunya yang pemalu. Sivia menunduk dalam, menggigit bibirnya. Zahra melipat tangan di dada.
“Ada saran ga , Si-vi, eh, Via?” Tanya Zahra. Dia menebak, bahwa Sivia menyimpan banyak hal, karena matanya tampak berpikir.
“Umm..” Sivia mengangkat wajah dan mengedarkan pandangan.
“Mungkin rak rotan itu buat alat solat atau bagaimana. Alqu’ran dan buku-buku pelajaran.”
“Gimana kalau yang seperti itu di taro di lemari aja? Supaya kita lebih tanggung jawab. Tidak saling meminjam milik orang lain.” Timpal Agni.
Zahra menggaruk kepala, bingung. Oik berjalan mondar mandir. Matanya beredar ke setiap sudut.

“Kalau kata aku sih. Itu kan rak handuk, buat tempat handuk. Rak rotan itu cocoknya buat peralatan mandi atau mungkin peralatan makan. Kalau alat solat, kita kan solat di mesjid. Jadi enaknya taro di lemari aja. Buku-buku di atas lemari.” Ujarnya mantap.
Sivia berkerut, tapi diam saja. Agni menimbang saran Oik.

“Lihat deh, kita semua pasti membawa perlengkapan hampir sama, sesuai data dari sekolah.” Kata Oik sambil membaca kertas yang berisi benda yang dibawa.
Zahra menepuk jidatnya, karena lupa, dan kebetulan dia tidak mengikuti daftar tersebut.

“Aku sih pengennya di atas meja itu ada tissue.” Ucap Sivia. Oik hampir saja buncah ketawa, tapi berhasil dia tahan, dan pura-pura batuk. Tak ada yang salah dengan tissue di atas meja, tapi sepertinya tidak terlalu, yah, seperti itulah.

“Yang pasti ini tempat ngaca, aku gak akan bisa menatap dunia kalau pergi tanpa ngaca terlebih dahulu.” Kata Zahra duduk depan meja dengan cermin besar didepannya.
Dia malah bermain mimik, centil-centilan. Happy karena cerminnya besar.

“Ya iyalah. Terus kayak make up atau perlengkapan kecantikan gitu, taro disana jangan?” sahut Oik. Sambil menunjuk meja dibawah cermin.
“Emangnya entar gak akan di razia ya? Aku gak bawa make up.” Zahra menggigit jari. Oik agak malu.
“Maksud aku kayak bedak, cologne, parfum, sisir.” Jelasnya.
“Itu sih di lemari masing-masing aja. Takutnya ada masalah karena kita pakai peralatan kecantikan punya orang lain.” Ucap Agni, kayaknya Agni jago-nya private.
Dia seperti berhati-hati dengan barangnya, itu kesan yang ditangkap Oik dan Zahra.

“Lalu laci di meja itu buat apa?” Sivia seperti sudah lama ingin bertanya.
“Kata pemandu, meja panjang untuk belajar.” Oik mengetuk meja itu. sivia mengangguk.
“Berarti buku-buku disini aja, deh.” Kata Zahra sambil melongok rak di bawah meja. ”Pas, nih, ada empat!”
“Aku bawa karpet. Agak besar. Gimana kalo aku gelar di tengah. “ Kata Sivia, mulai berani bersuara agak keras. Dia menunjuk ruangan kosong antara dua ranjang.

“Wah, asik. Kita bisa ngobrol, ngegosip atau makan disitu nantinya.” Zahra semakin senang karena suasana lebih menghangat, dan semua mulai menunjukkan karakter masing-masing.

“Hei, knock knock knock. Kita kan gak bole makan di kamar. Harus di dining room.” Oik mengingatkan.
“Oh iya, ngemil mah sah sah aja atuhlah.”
“Jadi gimana nih?” Agni tampak jengkel.
Dia paling tidak suka berlama-lama membahas hal yang bisa diselesaikan dengan mudah. Dia memang kadang lebih suka one man show.
Tapi, dia ingin menghargai teman barunya, bertahan dalam diskusi.

“Gak tahu, aku bingung. Entar deh aku mau tanya sama temenku soal penataan ruang, dia masuk GB juga, kali aja dia udah nata kamar dengan rapi, teratur, dan sesuai baik segi yinyang-fengshui, interior, dan lain-lainnya.”
Zahra bersungut. Dia teringat Debo. Pasti sudah datang, dan Zahra ingin cepat menemuinya, namun belum ada alasan.
Jadi denah ruang kamar bisa jadi tema awal.

“Oh iya, di kamar mana? Ajak main dong kesini.” Seru Agni. Dia belum bertemu banyak orang.
“Dia mah cowok, ya di asrama cowok.”
“Kita kan gak bole ke asrama cowok tanpa izin yang bener-bener logis.” Ucap Sivia.
Pengalaman tadi saat dia tidak mau ditinggalkan sendiri mencari kamarnya, karena pemandunya cowok, enggan mengantar hingga kamar.

“Nanti kalo makan malam sekarang kan kita kumpul. Nanti aku ajak dia ngobrol di lobby, deh. “ Niat Zahra, semangat.
Agni membaca jadwal, dan tersadar kalau malam ini ada dinner bareng.

“Umm. Aku juga mau tanya temenku juga deh.”
“Cowo juga, ya?” Tebak Zahra.
“Iya, namanya Patton. Tapi aku gak tahu, sempet atau gak nanya ke dia. Takutnya dia geer aku tanya-tanya, merasa dibutuhkan.”
“Memangnya kenapa, katanya teman?” Sivia terheran.
“Gapapaaaa.” Jawab Oik. Geram.

Dia tadinya berniat musuhan dengan Patton.
Karena, Patton tidak mengindahkan ancamannya untuk merahasiakan tragedy jatuhnya Oik di teras pada Mama.
Namun, dengan lugu dibuat-buat, Patton santai berkata ‘Tante, jangan ngebut-ngebut, kayaknya kita harus parkir dulu di tempat makan, tadi Oik jatuh, keraaasss banget, aku pikir rahangnya retak, untung nggak.
Tapi, takutnya dia kehilangan sistem imun dan ion tubuh, ya, untuk memperbaiki vitalitas aja!’

Spontan, Mama Oik heboh dan bertanya macam-macam, nyaris singgah ke klinik untuk diperiksa dulu, tapi Oik menolak mati-matian, dan terpaksa bilang hanya lapar.
Patton kegirangan, dan ternyata dia yang paling gembul menghabiskan satu porsi paket komplit nasi timbel, dan bahkan menculik ayam bakar Oik.
Itu menyebalkan banget. Oik ingin menguliti Patton saat itu, apalagi Patton malah cengengesan ketawa ketiwi gak jelas.
Tambah dongkol, saat Mama Oik memuji dia ‘Lihat tuh sayang, Patton jago makan, supaya sehat. Gak seperti kamu, ogah-ogahan.’ Dan tambah bikin Oik sewot, Patton menimpali ‘Ah, gak, kok, tante. Aku cuma mensyukuri nikmat Tuhan aja’. Tengiiiillllllll banget!!!


“Memangnya ada kumpul makan malam ya?” Sivia bertanya dengan polosnya. Oik berlagak pingsan.
“Heii, knock knock knock. Masa gak tau, ni ada di jadwal!”
“Berarti aku harus cepat mandi donk!!” Sivia langsung cemas. Dia kan kalau mandi minimal sejam, jadi harus ambil ancang-ancang lebih awal.
“Yuk. Dimana sih?” Agni mengambil handuknya berwarna hijau dari atas rak handuk.
“Tuh di ujung lorong ini, kan ada ruangan, masuk, ada dapur, nah disitu ada kamar mandi.” Terang Zahra disela kegiatan membereskan pakaiannya.
“Wah harus cepat-cepat nih kayaknya. Nanti bisa berebutan!!” Sivia makin tak sabar. Dia menyanggul rambutnya yang panjang memakai karet rambut.

“Kamar mandinya banyak kok. Ada sepuluh.” Ucap Oik. Dia masih kepikiran Patton, dan berencana melakukan balas dendam.
“Serem gak?” Sivia berjengit, lucu. Agni terbatuk, ingin ketawa.
“Dikit..” Zahra iseng. Padahal dia sendiri belum lihat.
“Duh takuttt..”
“Becanda kok. Yah aku sendiri gak tau. Kan belom liat.”
“Bareng yuk?”
“Yuk. Aku juga dari tadi pengen pipis. Moga aja sanitasinya gak buruk. Aku benci kalo kamar mandi bau plus jijik. Aku kan pecinta kebersihan, everything’s must steril, higinis dan wangiii.” Ujar Oik, berdeklamasi. Zahra mendesih.
“Makanya ada jadwal bersihkan kamar mandi. Kalau pengen bersih harus dijaga bersama kan?” Ucap Agni sambil berjalan keluar, Sivia membuntuti, tangannya menggerak-gerakan ember kecil berisi peralatan mandi.

___________________________________________________________________________________
LANJUT KE FANFICT_MIMPI SANG BINTANG-PART 14 : BATTLE CHOIR

FANFICT_MIMPI SANG BINTANG-PART 12 : THE BEGINNING

LANJUTAN DARI FANFICT_MIMPI SANG BINTANG-PART 11 : SEPASANG CAHAYA

PART 12 : THE BEGINNING

Seorang laki-laki di atas kursi roda elektrik Tipe KP-25.2, kursi roda dengan fitur built-in multi-functional controller.
Cowok itu memakai kacamata dengan frame putih, menyambut kedatangan Irsyad dan Debo yang baru selesai registrasi dan berbincang di ruang penerimaan murid baru.
Irsyad terus memandang kursi roda tanpa berkedip, Irsyad terpana melihat display 0.75" high digits LCD pada kursi roda.
Debo mencolek supaya bersikap biasa saja.
Mang Adi baru saja bercakap-cakap dengan panitia, menghampiri Debo dan Irsyad yg duduk di kursi panjang seperti ruang tunggu.
Lelaki berkursi roda menganggap itu kode untuk melaksanakan tugasnya.

“Selamat bergabung bersama Gema Bhakti. Nama saya Riko, saya siswa kelas 8, saya disini bertugas untuk menjadi guide, Um..”
“Saya Andryos, panggil saya Debo, dan ini temen saya, Irsyad, Kak.” Sapa Debo.
Riko jengah, dingin.
Irsyad melambai tangan bilang ‘Hai’.

Riko mengoperasikan switchable controller mechanism, memutar roda kursinya lalu menoleh pada Mang Adi yang bingung harus berbuat apa.

“Bapak percayakan saja pada kami.” Seru Riko. Mang Adi terkesiap.
“Ohh iya. Eung.” Mamang Adi tampak serba salah.
Riko mendorong kacamata frame putihnya, lalu tersenyum sekedarnya. Irsyad mengangkut tas bawaan ke atas troli.

Debo merangkul Mamang Adi, berat. Mang Adi malah menitikkan air mata karena ini adalah pertama kalinya harus berpisah dengan Debo. Rasanya sangat berat.
Debo mencoba melepaskan diri dari rangkulan Mang Adi yang hampir mencekik lehernya.

Riko memperhatikan tanpa ekspresi. Terus terang, sikap Riko membuat Irsyad, Debo dan Mang Adi kikuk.
Padahal Riko tampak biasa saja dan sibuk mengatur backrest dan armrest kursi rodanya yang cukup canggih.
Agak lama Debo dan Mang Adi saling berbisik. Debo meyakinkan Mang Adi semua akan baik-baik saja.

“Kaleum we atuh, Mang. Da Dede teu kamana-kamana, nyang sakola, diajar, bergaul didieu. Moal kukumaha. (Tenang aja, Mang. Dede kan gak kemana-mana, cuma sekolah, belajar, bergaul disini. Ga kan kenapa-kenapa.)”
“Kasih kabar, ya. Tadi kata Pak Genta, tiap murid memiliki voucher menelepon gratis selama lima jam dalam sebulan. Telepon Mamang, ya. Tahu, kan nomor hape Mamang?” Debo mengangguk, dia sudah hapal.
“Jangan lupa solat, makan jangan telat.” Mang adi terus memberi petuah dan wejangan, meski dia tahu prosedur dan manajemen siswa Gema Bhakti yang sangat relevan dan Debo takjub hingga berangan hari-harinya nanti.

Mang adi mencium kening Debo, Debo jadi salah tingkah. Karena bersamaan dengan itu, 3 orang, diantaranya seorang cewek, anak cowok, dan Ibu yang berpakaian seperti wanita karier melewati mereka.
Debo tak tahan lihat pandangan cewek yang memincingkan matanya ke arah Debo, seolah sangat aneh.
Akhirnya Mang Adi hanya mampu melihat Debo dan Irsyad mengikuti Riko yang lihai menguasai kursi rodanya.

Riko terus menjelaskan beberapa peraturan umum, dan tempat-tempat di Gema Bhakti.
Mulai dari aula, trading post, bank pelajar, perpustakaan, teater pentas Button Hall, ruang serbaguna, pusat komputer, bisnis dan media. Pusat Pendidikan. Area editorial dan penerbitan untuk jurnalisme dan produksi majalah koran. Ada juga studio musik, dan stasiun radio sekolah, dan lain-lain.

Selama mereka berjalan. Irsyad celingukan lalu main lirik-lirikan dengan Debo.
Sekolah Gema Bhakti berada di ruas kiri, menjulang tidak seperti hotel di desa Debo.
Dan di ruas kanan terdapat bangunan lebih luas, dan itu adalah asrama dengan gedung seperti huruf ‘U’, karena bawahnya menyatu tetapi atasnya membentuk dua menara, dari luar seperti apartemen tak terlalu mewah tapi terlihat asri dan nyaman dengan plang besar di puncak gedung ‘GEMA BHAKTI SCHOOL’ melintang di antara dua gedung menara asrama.

Kata Riko ada sayap utara dan selatan. Sayap Utara adalah asrama putri bernama Srikandi Chambers, yang berada di menara Utara.
Dan Selatan adalah asrama putra, South Prince Palace, disingkat jadi SPP. Bangunan sekolah dan asrama disambungkan oleh jalan cukup luas, yang dilindungi oleh atap, seperti lorong di rumah sakit, dengan beberapa bangku taman di sampingnya.

Banyak tulisan berupa peringatan umum seperti ‘Dilarang Membuang Sampah Sembarangan’, ada sebuah prasasti atau monument di lobby.
Riko terus menjelaskan, dan Debo berusaha mengerti. Riko juga mengajak ke belakang gedung, sebuah taman, ada gymnasium, dan kolam renang. Debo takjub karena-nya.

Lalu mereka diajak ke halaman belakang yang luas, ada seperti rumah kaca yang menyimpan banyak tanaman hias yang dirawat bersama, tanaman obat-obatan dan bunga, tempat itu bernama Pondok Flora.
Disampingnya, terdapat sebuah bangunan agak kecil seperti kelas, namun terpisah. Di sampingnya ada pohon beringin rimbun. Debo melihat ada sebuah rumah pohon, dan tangga kayu di sepanjang batang pohon.
Melihat pintu bangunan terbuat teralis. Terdengar beberapa bunyi binatang.

“Ini kandang. Tempat peliharaan yang siswa bawa. Kau boleh membawa binatang peliharaan. Kecuali anjing. Binatang tidak boleh di bawa ke asrama ataupun ke sekolah. Bagi anak yang membawa binatang, harus membersihkan kandang, dan ada jadwal piket.” Jelas Riko. Debo mengangguk-angguk. Irsyad malah berlari. Dan terperangah memandang kuda. Ada sekitar 8 orang di kandang.

Sekitar 6 orang memakai seragam seperti Riko. Beberapa diantaranya memakai boots plastic. Membersihkan kandang, dan memberi makan hewan yang ada disana.
Debo tersenyum melihat seekor kucing yang manja menggeliat di pelukan cewek.

“Sekarang kita ke kamar kalian.” Ajak Riko. Irsyad asyik memberi makan kuda, dan pura-pura tuli saat Debo panggil, tapi akhirnya nurut juga dengan berat.
Di lobby, Debo berpapasan dengan cewek sinis dan cowok yang melihatnya dicium Mang Adi tadi sedang dipandu pemandu wanita.
Debo menunduk, entah mengapa dia malu. Tapi cewek itu cuma menoleh lalu serius mendengar pemandu-nya, seorang cewek berkerudung.
Riko menekan tombol ‘naik’ lift. Beberapa saat, pintu lift terbuka. Irsyad dan Debo canggung. Bahkan tangan mereka saling berpegangan erat karena takut.

“Kita ke lantai 3. Di lantai 1 tadi selain lobby, ada dining room, dapur. Lantai dua adalah kamar guru, pengawas, pengasuh dan staf lainnya. Kamar siswa di lantai 3 dan 4. Lantai lima hanya berupa ruang terbuka, enak mencari inspirasi. Kebetulan kalian satu kamar.”
“Memangnya satu kamar berapa orang kak?” Tanya Debo.
Mereka keluar dari lift. Ruangan terdiri dari pintu besar. Lorong cukup padat, terang. Dengan tiang-tiang dan pagar, di sisi lain berupa beranda, bisa melihat pemandangan dari sana.
“Empat. Ini kamar kalian nomor 19. Pengasuh kalian, bernama Dayat. Dia masih sibuk menjadi pemandu. Nanti juga datang.”

Debo berhenti mendorong troli, pinggangnya agak pegal. Irsyad melongok ke bawah.

“Saya pamit. Kalau ada apa-apa pergi saja ke lobby, disana ada ruang receptionist tempat pengawas asrama berjaga, ketua pengawas adalah Mrs Shinta. Saya harus kembali ke ruangan penerimaan siswa baru. Jangan lupa, troli dikembalikan ke ruang tadi.” Jelas Riko. Mengoperasikan kursi roda.
“Terima kasih, Kak.”
“Oke.” Jawab Riko, sekenanya. Dia masuk ke dalam lift.

Debo perlahan membuka kenop pintu, menjulurkan kepala mengintip ke dalam.
Irsyad tidak sabar.
Kamar mereka berukuran sekitar 4x4, terdapat dua tempat tidur tingkat, dan diantarater dapat lemari kecil setiap sisinya. Di tengahnya jendela cukup besar. Di depan ranjang, samping pintu, ada seperti meja rias dengan cermin besar, meja cukup panjang dengan dua kursi plastik.

Saat masuk, Debo baru tahu ada orang di dalam. Mereka saling memandang, lalu cowok itu senyum ramah.

“Kalian teman sekamarku, ya?” Sambutnya ramah. Debo masuk tanpa sungkan. Irsyad sibuk menurunkan tas dari troli, dan mengangkut ke dalam.
“Itu lemari dua, pilih aja salah satu. Maaf ya, aku pilih tempat tidur yang kanan, di bawah.” Cowok itu seperti sudah siap bertemu teman barunya. Kata-katanya runtut dan enak di dengar. Debo, sih, tidak keberatan.
“Kita dimana?” Debo bingung. Irsyad bersegera.
“Aku di atas ya, De. Hehe” Ucapnya, sambil mencopot sepatu.
Irsyad naik ke tempat tidur di atas. Menepuk bantal.

“Di lemari ada sarung bantal dan seprai, selimut juga. Masih wangi loh.” Tambah cowok itu lagi. Debo melihat, membuka pintu lemari pendek sampai batas, mengeluarkan seprai, selimut.
Lemari untuk Irsyad ada di depan, menempel dengan ranjang. Debo mengambilkan. Kaki Irsyad di tangga kasur, berusaha memakaikan seprai.
Cowok itu menaruh sebuah boneka ultraman di atas bantal, lalu duduk di kasur.

“Aku Obiet. Aku dari SD Pemuda Semarang. Kalian beasiswa juga ya?” Mukadimah Obiet. Badan Obiet agak kecil, terbilang imut. Wajahnya begitu sayu dan tatapan matanya lembut.
Tipe orang yang mudah mendapatkan teman.

“Aku Andryos, panggil saja Debo. Dari sukabumi. Yah. Alhamdulillah.”
“Heloow, aku Irsyad. Sama sesekolah ma dia.” Seru Irsyad yang nyaman rebahan dikasurnya.

Tiba-tiba terdengar suara orang mengetuk pintu. Debo membukakan pintu.
Alangkah kagetnya saat tahu siapa yang datang. Cowok yang bersama cewek sinis tadi.
Dia keliatan capek. Tangannya penuh membawa koper dan tas.

“Ini kamar 19, kan?” Tanyanya lemah.
“Yah.” Jawab Debo. Cowok itu masuk lalu berlagak pingsan di lantai, menimpa koper-kopernya.
“Duh, bete aku gak dianterin. Nyasar ke lantai 4 tadi. Padahal, aku anter mereka dorong troli sampe kamar. Nyari-nyari.” Keluh Cowok itu.

Obiet berjalan. Ada dispenser di atas meja panjang. Dia mengambilkan air minum dan memberikannya pada cowok itu. Seketika meneguk. Seperti orang dehidrasi parah.

“Memangnya pemandu kamu kemana?” Tanya Obiet, sambil mengambil air lagi.
“Pemandunya cewek, katanya gak bisa antar ke kamar, lha, tadi aku antar mereka sampe kamar. Mereka cuma memanfaatkan aku jadi tim angkut barang! Thanx ya.” Cecar cowok itu. Obiet baik sekali. Menyimpankan gelas.

“Aku dimana nih?” Cowok itu bangkit, melihat-lihat.
“Tinggal kasur di atasku yang kosong. Lemari tinggal yang itu.” Obiet menunjuk kasur di tingkat dua atasnya. Dan lemari yang berada nyempil di depan ranjang, samping meja bercermin besar. Cowok itu manggut-manggut, bangkit.
“Dimana aja oke,kok.”
Cowok itu langsung naik, dan tiduran. Tampaknya dia lelah dan tersiksa.

“Eh pak. Namamu siapa? Masa sekamar gak tahu nama?” Teriak Irsyad. Dia sedang asik dengan kasur baru nya.
Patton yang rebahan berbaring. Berpose ala ratu pantai.
“Haii pria di seberang sana. Aku Patton.” Patton melongok ke bawah. “Oia, kalian siapa?” Tanyanya.
“Aku Debo, aslinya sih Andryos. Kamu dari mana, Ton?”
“Jakarta-Makassar, lah” Sahut Patton. “Kamu Obiet ya?” Patton menebak.
“Kok tahu?” Obiet agak tercengang, dia merasa tidak memakai name tag.
“Itu aku baca di buku atas lemari kamu.” Sahut Patton, cuek. Obiet senyum.

Debo menelan ludah, karena Obiet sudah menata buku tulis di sampul rapi berwarna biru.
Debo mendapat gambaran bahwa Obiet anak yang perfeksionis.

“Aku Irsyad. Panggil Icad juga boleh, si ganteng boleh banget.” Irsyad narsis. Terkekeh. Patton ngakak. Sambil bercanda. “Ganteng ganteng..” Irsyad belingsatan dibuatnya.
“Oiah, aku cuma mengingatkan, kalo troli tadi harus dikembaliin ke depan ruang administrasi tadi.” Kata Obiet.

Patton melenguh. Irsyad tiba-tiba lompat dari kasur tingkat.
Debo sampe kaget ‘Astagfirullah’, dia sedang menata baju-baju nya ke dalam lemari. Irsyad cengengesan.
“Sori, De. Kesalahan teknis. Lupa berada di atas tadi. Eh, Ton, mau bareng gak balikin dorongan?” Irsyad ngeles.
Debo hanya menarik napas, dia sudah terbiasa dengan sikap Irsyad yang nyeleneh, dan dia kadang ingin seperti itu.

Patton menggeliat lalu turun sambil permisi pada Obiet. Obiet mengangguk pelan. Patton merasa perlu attitude menghadapi Obiet, karena keliatannya Obiet sangat menjunjung tinggi tata krama.

Irsyad memakai sepatu, lalu bermain-main dengan troli. Patton menyusul. Dia membereskan letak koper-kopernya yang berantakan. Mereka lalu pergi.
Debo melirik Obiet, mata mereka beradu. Obiet menyungging senyum ramah.

“Gema Bhakti, aku gak nyangka bisa masuk sekolah ini. Aku mimpiin sekolah disini sejak kelas 4!!” Kata Obiet, takjub.

Debo mengeluarkan peralatan mandinya dari kresek. Mendengarkan Obiet. “Aku juga. Ini benar-benar mimpi yang terwujud, deh. Malah, tadinya aku sempet ga boleh terima beasiswa ini, lho. Aduh, peralatan mandiku taro dimana ya?”
“Alat mandi taruh di rak rotan itu aja, ya. Disana juga ada rak handuk. Itu ada ember empat kecil, mungkin untuk tempat peralatan mandi. Aku pakai yang warna biru.” Obiet menunjuk pojok kiri samping pintu, dekat ranjang Debo dan lemari Irsyad. Ada rak rotan tingkat 4 juga rak handuk. Debo menyusun peralatan mandinya di ember kecil berwarna merah.

Obiet berdiri, lalu duduk di samping jendela. Dia menyibak gorden, dan menarik nafas panjang.
“Rak itu, baris ke 1 dan dua kita tentukan untuk tempat alat mandi. Kalau atas buat alat makan. Gimana?” Saran Obiet.

Debo menyimpan ember kecil merahnya di samping ember kecil biru, berisi peralatan mandi Obiet, tampak lebih komplit dari alat mandi milik Debo.
“Ya. Aku setuju aja.” Jawab Debo. Dia melenguh, lupa membawa perlengkapan makan.
“Ibuku membelikan rak piring. Supaya lebih teratur. Dan, kayaknya tadi lampunya agak redup. Jadi diganti.” Urai Obiet.
Dia sampai gak enak hati, takut di bilang mengatur. Debo hanya menggangguk. Dia sedikit mendadak menyiapkan barang yang dibawa. Jadi, dia tidak ingat sampai detail.

“Maaf lho, bukannya mau ngatur atau bagaimana, tapi sekarang kamar ini adalah tempat kita, kamar kita. Jadi kita juga yang harus buat nyaman. Apalagi kita individu berbeda dan baru saling kenal. Supaya lebih terorganisir aja.” Jelas Obiet. Mengira lenguhan Debo karena sikapnya.

“Iya. Aku ngerti kok. Malah aku setuju. Harus ada yang memulai.” Obiet lega mendengarnya.
Debo duduk di samping Obiet, berhadapan di daun jendela.
“Nanti kalau sedang luang. Kita buat peraturan bersama. Kamu bawa laptop?”
Debo menggeleng.
Obiet berjalan ke arah meja belajar, dibawah meja ada tingkatan sebanyak 4. Dia menarik chase laptop berwarna hitam.

“Kalau begitu, ini laptop aku. Di sekolah juga ada laboratorium computer. Tapi, kalau ada tugas kita bisa mengerjakan di asrama. Kamu boleh pakai laptop ini. Aku harap ini menjadi laptop bersama, dan kita meintance bersama.”

Debo bangkit, dia tampaknya kagum dan agak senang satu kamar dengan Obiet. Obiet pada kesan pertama tampak ramah dan wise.
Dan, debo yakin, obiet baik. Figur pemimpin, tapi tidak otoriter. Cukup bisa diandalkan.

“Senang ketemu dan bisa satu kamar denganmu, Biet.” Ucap Debo tulus. Obiet menggaruk kepala, malu.
“Aku pengen kita cepat akrab sih, rasanya gak enak kalo canggung atau kagok. Tadi temanmu Irsyad. Dia supel, ya, aku sulit seperti itu.”
Alis Debo naik, mengiyakan.

“Patton juga kayaknya asik.” Debo melihat bawaan Patton yang jauh lebih banyak dari Debo. Obiet turut melihat dengan bingung.
“Aku curiga dia membawa seluruh perkakas rumahnya.”
Obiet tertawa.
“Nanti pasti ada pemeriksaan oleh kakak pengasuh kita. Kamar 19 pengasuhnya, Kak Dayat. Moga aja dia baik ya. Aku takut dia senioritas tinggi.”
“Oh ya? Kamu tahu banyak, ya?” Debo salut.

Obiet memberinya banyak informasi. Kak Riko tidak menjelaskan dengan rinci, dan agak dingin, Debo jadi segan bertanya.

“Aku tadi tanya-tanya aja sama kakak pemandu. Asrama masih sepi karena sedang Libur sekolah usai semester. Yang ada hanya panitia penerimaan siswa baru dan OSIS. Tapi ada sih beberapa siswa yang dari daerah asal jauh, mereka gak pulang. Tapi, justru siswa dari daerah jauh itu yang banyak jadi pantia.”
“Tadi juga aku ke kandang, lihat beberapa orang. Mungkin kakak kelas.” Lanjut Debo. “Bagi yang bawa binatang mendapat jadwal piket untuk membersihkan kandang.”
“Bagus itu, supaya gak terlalu membebani petugas kebersihan, ya.” Timpal Obiet. Sambil mendekat, lalu menjulurkan tangannya.

“Beruntung banget aku sekamar denganmu. Kita berteman ya, sekarang!!” katanya.
Debo terperangah. Baru kali ini ada yg menawarkan pertemanan seperti itu. Dia meraih tangan Obiet. Dan mereka berjabat.

Awal di Gema Bhakti sangat memuaskan Debo.
Tak ada penyesalan terlintas di benaknya.
Dia berangan kehidupannya kemudian hari.
Pasti seru, menemui orang-orang baru dari asal daerah berbeda dengan karakter berbeda.

___________________________________________________________________________________
LANJUT KE FANFICT_MIMPI SANG BINTANG-PART 13 : KAMAR GADIS

FANFICT_MIMPI SANG BINTANG-PART 11 : SEPASANG CAHAYA

LANJUTAN DARI FANFICT_MIMPI SANG BINTANG-PART 10 : TERPERCIK KASIH

PART 11 : SEPASANG CAHAYA


Perumahan Villa Duta, komplek perumahan elit yang cukup terkenal di Bogor.
Di antara deretan rumah dengan arsitektur hampir sama.
Berdiri kokoh rumah tingkat dua dengan aksen minimalis ber-halaman asri, hijau dan segar.
Di garasi, tampak sebuah sedan berwarna merah dengan bagasi yang juga terbuka.
Ada beberapa travel bag, kantong pvc, dan koper besar disana.
Penuh, nyaris tak bisa ditutup pintu bagasinya.

Dari pintu utama rumah, keluar seorang gadis cantik berkulit putih. Rambut pendeknya dikuncir rapi.
Dia memakai celana jeans dan t-shirt ungu dipadu vest coklat. Memakai shoulder bag yang tampak sesak.

Berkali-kali melihat jam tangannya yang juga berwarna ungu. Wajahnya tampak kesal.

“Maaaahhh. Cepet donk. Takut telat nii. Gimana sih, ah..” Teriaknya.
Dari dalam terdengar sahutan “Yaa, sebentar.”

Nama gadis itu, Oik. Oik gusar tidak karuan. Berjalan mondar-mandir tanpa arah sambil sesekali melihat arloji. Dia menghentakkan kaki karena kesal.

“Iihh..” keluhnya tidak sabar.
“Woii..!!” Tegur seseorang yang dari tadi di dalam mobil. Seumuran dengan Oik.
Cowok itu keluar lalu menyender ke pintu mobil, tangannya memegang kemasan snack.

“Rusuh amat, Buu?” Ucapnya sembari ketawa. Oik melirik sebal. Cowok itu cuek, ngemil.
Oik duduk di kursi depan jendela rumah. Melipat tangan. Pipinya dikembungkan karena kesal.

“Nyantai aja kali. Ga sabar amat. Kan baru hari pertama. Cuma registrasi dan perkenalan gitu aja.” Tambah cowok itu. menggosok hidungnya. Lalu bersin.
“Ahh berisik lo, Patton.” Sahut Oik. Patton menyeringai.
Orangtua Patton nya adalah sahabat orangtua Oik. Patton berasal dari Makassar.
Namun, dia berhasil diterima sekolah di Gema Bhakti bersama Oik.
Maka, jadilah Patton dititipkan pada orangtua Oik untuk mengurus segalanya.

Oik bangun, hendak menyimpan tasnya ke jok mobil.
Namun saat meniti tangga yang sebenarnya dangkal. Kaki Oik keserimpet.
Entah bagaimana kronologisnya. Oik jatuh tersungkur.
Niatnya membantu, namun karena Patton masih kaget karena Oik jatuh tepat di depannya. Dia terburu-buru, dan bagi Oik itu agak kasar.
Oik menolak Patton, sambil mengusap celananya. Meringis, matanya berkaca-kaca.

“Apaan siih!!” Ucapnya ketus.
“Lo kenapa, kok, bisa jatoh gitu? Aneh.” Patton tetap bersukacita dengan tulus ingin membantu.
Oik mengusap poninya yang menghalangi mata. Berjalan pincang dan melewati.
“Gue mau lewat!” Patton bergeser. Oik melempar tas ke jok lalu duduk di lantai, meniup sikutnya yang agak kotor. Patton melihat dengan seksama.
“Yakin lo gapapa?” Tanya Patton sambil melahap snack.

Oik mengerlingkan mata.
“Knock knock knock. Gue-baik-baik-aja. Gue bahkan gak cedera ringan, gak ada pendarahan, dan diyakinkan gak ada penggumpalan darah. Hemoglobin di angka normal. Tekanan darah pun normal. Hanya aja jantung berdegup lebih kencang, dan kayaknya darah mengalir dua juta kali lebih cepat, dan itu normal, karena gue masih kaget! Dan, teriakan lo itu yang bikin gue makin kaget. Dan cara lo mau menolong, yang bikin tangan sakit!” Cerocos Oik, nyaring.

Patton memundurkan wajah. Dia agak shock dengan omelan Oik. Berjengit sambil garuk-garuk kepala.
Bunda Oik keluar dengan panik. “Ada apa, tadi?”
“Ini, tante, Oik ja..”
“Udah siap Mah?” Potong Oik, sambil melirik Patton.
Patton urung melapor lalu mengembangkan senyum lebar. Bunda Oik agak bingung.

“Yah, ayo!!” Bunda Oik agak kikuk. Menenteng clutch bag.
“Bik, saya berangkat.” Serunya.
Bik Wati berjalan cepat, dan menggangguk.

“Jangan bilang apapun soal tragedi tadi. Itu memang musibah diluar prediksi. Kalau lo cerita, gue janji bikin kepala lo hinggap di galaksi lain, dan badan lo nancep di pusat bumi!!”

Patton hanya berdeham dengar bisikan ancaman Oik.
Oik masuk dan duduk di depan. Bunda Oik duduk dibangku supir.
Patton bingung duduk di belakang. Banyak barang berserakan.
Tapi, dia menyamankan diri dan merebahkan tubuhnya ke tas Oik. Oik melirik jengkel.

Dalam benak, Patton sangat tidak ngerti kenapa Oik seolah benci dan memusuhinya.
Ahh, cewek, gumam Patton. Aneh.
Patton mengerenyitkan hidung, Oik melihat dan melotot galak.
Patton tertawa, snack dimulutnya ambrul keluar.
Oik mendesih, kena cipratan di punggungnya.
Bunda Oik mengulum senyum melihat dua cahaya bersinar terang yang sering berbeda persepsi dan pendapat.
Dua anak penuh bakat dan cerdas.

_________________________________________________________________________________
LANJUT KE FANFICT_MIMPI SANG BINTANG-PART 12 : THE BEGINNING

FANFICT_MIMPI SANG BINTANG-PART 10 : TERPERCIK KASIH

LANJUTAN DARI FANFICT_MIMPI SANG BINTANG-PART 9 : SELIMUT BAHAGIA

PART 10 : TERPERCIK KASIH


Debo dan Mang Adi sedang menemani Bu Elis dan Bu Lastri ke rumah Irsyad.
Berusaha menjelaskan dengan perlahan supaya Orangtua Irsyad tidak menahan beasiswa Irsyad. Kesempatan dan peluang sangat mahal.
Dan kesempatan Irsyad mendapat beasiswa bersekolah di Gema Bhakti, benar-benar berharga.
Meski waktu bersama keluarga juga jauh lebih berharga. Namun, poin disini beda.

Irsyad dan Arsyad menunggu di kamar, sejak Debo mengatakan akan menerima beasiswa itu, Irsyad sangat ambisius nyaris ngotot pada Gema Bhakti.
Di sampingnya, Arsyad yang diam dengan wajah keras, seperti menahan diri untuk berbicara.
Irsyad menepuk pundak Arsyad.

“Bang.” Panggil Irsyad. Arsyad acuh. Dia bergeser.
“Jan lah bantuak tu Bang. Abang kan tahu kalo awak nio bana sekolah di GB. Dulu, kato abang ndak mungkin. Tapi, kironyo wak bisa mambaliakan yang ndak mungkin tu. (Bang jangan begitu lah, Bang. Abang kan tahu aku pengen banget sekolah di GB. Dulu, abang bilang itu ga mungkin. Tapi, ternyata aku bisa membalikkan ketidakmungkinan itu.)” Terang Irsyad.
Dia memang sempat mengajak Arsyad ikutan seleksi beasiswa. Tapi, Arsyad menolak.
Mungkin, Abangnya Irsyad tidak tertarik karena belum lihat sendiri bagaimana Gema Bhakti.
Arsyad diam saja.

“Mambana wak Bang, jan lah bantuak tu. (Aku mohon jangan gitu, Bang.)” Irsyad ingin menangis karena kesal dengan Arsyad yang sudah berhari-hari tidak mau berbicara dengannya. Arsyad cuek dan menganggap Irsyad gak ada. Itu menyakitkan.

Irsyad seperti pilek. Dan menggosok matanya yang perih. Arsyad mengerling dengan wajah sendu.
Arsyad turun dari kasur lalu mengobrak abrik lemarinya. Dia membawa sebuah benda yang terbungkus rapi kertas kado.

“Ko ha! (Buatmu!)” Katanya sambil menyodorkan kado itu. Irsyad bingung, menerima.
“Buka lah!” Titah Arsyad. Irsyad menurut, membuka sambil terus melihat Arsyad yang tidak peduli.

Ada sebuah kertas surat dan dus kecil. Irsyad hati-hati membuka kertas dan membacanya.

‘Salamaik yo diak. Bangga Abang samo adiak! Baraja lah yang rajin. Jan bantuak Abang lo. Pamaleh, suko main, padahal labiah cerdas daripado adiak, hehe, peace.’
(Selamat ya dek. Aku bangga deh sama kamu! Belajar yang rajin. Jangan kayak aku. Suka malas, seneng main, padahal jauh lebih cerdas dari kamu, hehe, peace.)

Irsyad melirik Arsyad yang bersiul siul, menilik kuku. Gak percaya.

“Abang, pura-pura ngambok yo, Bang? (Bang. Kamu pura-pura ngambek ya, Bang?)” Tanya Irsyad.
“No way, ndak buliah ngambok, kok ngambok bisa ngurangan kadar jenius wak mah. Bukak kardusnyo! (No way, gak boleh ngambek, ngambek bisa mengurangi kadar kejeniusan aku. Buka tuh kardus.)” Irsyad ketawa, tidak sabar membuka.

Ada kalkulator scientific. Kemarin, Irsyad sempet merecoki orangtuanya, ingin mempunyai kalkulator.
Dia ingin jadi akuntan, dan akuntan butuh kalkulator untuk menghitung angka nominal besar.
Arsyad dulu hanya mengejek, jadi akuntannya kapan, kalkulatornya kok sekarang. Pake sempoa aja.

Irsyad senang sekali mendapatkan kalkulator. “Iko untuak awak, Bang? (Ini buat aku, Bang?)”
“Ndak. Untuak tetangga, yo adiak lah. Bodo bana diak ma! (Bukan. Buat tetangga. Ya kamu lah. Bodoh sekali kamu ini!)” Arsyad jadi keki. Irsyad begitu leluasa menunjukkan rasa gembiranya.
“Bang, mokasih yo Bang.. (Bang, makasih Bang..)”
“Jan pake akting sok histeris lo lai. Santai se lah. (Jangan akting sok histeris. Santai aja lah.)”

Arsyad santai, memasang aksen sok keren.
“Kok bisa bali sih, Bang? Dapek piti dari ma? (Kok bisa beli sih, Bang? Dapet duit dari mana?)” Irsyad sangsi. Karena kalkulator scientific cukup mahal.

Arsyad menyungkil tombol reset untuk menyalakan memakai pulpen. Dia sibuk mengotak atik kalkulator. Meniup-niup ga jelas.
“Dapek nabuang ma, Diak. Tadi tu sabana untuak kado ulang tahun. Tapi ulang tahun awak baduo kan masih sabulan lai. Adiak la ndak di siko lai do. (Tuh dapet nabung, Dek. Tadinya buat kado ulang tahun. Tapi ulang tahun kita masih sebulan lagi. Kau sudah tak ada disini.)” Jawab Arsyad masih sibuk mengoperasikan kalkulator. Dan menekan angka.

“Tapi, kan, alun tantu lai do. Ama samo Apa kan ndak satuju awak sekolah di Gema Bhakti. (Tapi, kan, belum tentu. Mamah dan Bapak gak setuju aku sekolah di Gema Bhakti.)” Irsyad agak sedih.
Arsyad menepuk pundak Irsyad.
“Ala tu ma tanang se la. Awak la ngecek kok sama Ama jo Apa. (Beres, tenang aja. Aku udah bilang kok.)” Katanya. Alisnya digerak-gerakkan.

Irsyad mengintip sebuah perkumpulan kecil di ruang tamu. Arsyad ikut mengintip.
“Ama samo Apa tu cuma nio ma mastian sadonyo. Tapi, Ama jo Apa ndak bisa pai ma anta-an ka Banduang, jadi adiak barangkek se samo Debo jo Mang Adi. Awak gai ndak bisa anta-an, karano awak harus ikuik testing masuak SMP. (Mamah sama Bapak cuma mau mastiin segalanya. Tapi, katanya mereka gak bisa antar ke Bandung, jadi kamu berangkat bareng Debo sama Mang Adi. Aku juga gak bisa antar harus ikut testing masuk SMP.)”

Arsyad cuek, mengangkat bahu. Irsyad teriak tertahan memeluk Arsyad. Menggoyangkan tubuhnya.

“Lapeh-an la malu ha aneh. Lapeh, Diak..!! (Lepas ah. Aneh. Lepas, Dek..)” Keluh Arsyad.

Irsyad berlagak tuli, makin menjadi.
Dirinya terpecik kasih begitu nikmat dari keluarganya.
Entah atas dasar apa mereka seolah tidak mendukung Irsyad.
Sihir yang merasuk telah musnah.
Awan hitam telah luruh menjadi hujan lebat yang menyegarkan.


Gema Bhakti, kami datang bersama sejuta cita.

__________________________________________________________________________________
LANJUT KE FANFICT_MIMPI SANG BINTANG-PART 11 : SEPASANG CAHAYA

FANFICT_MIMPI SANG BINTANG-PART 9 : SELIMUT BAHAGIA

LANJUTAN DARI FANFICT_MIMPI SANG BINTANG-PART 8 : NAMAKU CAKKA

PART 9 : SELIMUT BAHAGIA


Debo sedang mencuci piring di kamar mandi yang berada di luar, halaman belakang rumah.
Dia berhasil meredam kecewa-nya, dan berencana mengikuti saran Mang Adi untuk sekolah di kota.
Mang Adi sudah meminta temannya membantu mengurus.
Nenek datang dari dalam rumah, jongkok. Mau membantu Debo.

“Teu kedah, Nek, wios ku Dede (Ga usah, Nek. Biar Debo aja).” Tolak Debo, dia seperti terlalu serius dengan kegiatannya.

Nenek memperhatikan Debo, nafasnya agak tersenggal.
Sudah beberapa hari, Debo sering diam, dan berbicara sekenanya.
Beberapa hari lalu, dia didatangi Zahra, anak tetangganya yang baru saja pindah.
Tadinya, Nenek kira, Zahra hanya pamit.
Tapi, gadis kecil itu menyampaikan hal yang membuat hatinya teriris. Zahra bahkan menangis.
Nenek sangat ingat satu kalimat Zahra yang menampar egoisnya.

“Ibaratnya gini, Nek. Debo memiliki sayap yang siap membawanya terbang meraih konstelasi gugusan bintang paling cemerlang. Namun, kakinya di rantai menembus bumi. Dia sebenarnya bisa melepaskan diri. Tapi, Debo memilih menatap mimpinya hingga akhirnya sayapnya terkulai patah.”

Nenek berusaha menerjemahkan kalimat itu.
Beliau bertanya pada anaknya, Mang Adi. Dan, Mang Adi menjelaskan penuh khidmat dan tertata.

Nenek menangis, karena sudah menjadi batu penghalang bagi cita-cita Debo.
Beliau tidak tahu, karena Debo diam saja.
Namun, Mang Adi menghiburnya, bahwa tidak terlambat untuk mengubah semua.
Debo masih bisa melesat terbang, jika nenek mau membuka rantai itu.
Nenek tersugesti, dan dia merenung lama untuk mengubah keputusannya yang sudah bulat.
Nenek juga tidak tahan melihat cucu-nya seperti terbalut sedih dan kecewa yang seperti tak akan hilang.
Debo sama seperti Ibu-nya memiliki keinginan kuat, namun kadang mereka tak bisa menyampaikan isi hatinya.
Mereka pun mulai bercakap dalam bahasa Sunda.

“De. Teu betah sanes sareung Nenek. Nenek pernah ngacewakeun Dede, nya, nepika hideup hoyong pisah ti Nenek (De. Ga betah ya sama Nenek? Nenek pernah ngecewain kamu, sampai kamu mau pisah ma Nenek?)” Nenek berkata sedih.

Debo kaget dengan pertanyaan Nenek. Sungguh, dia tak pernah terbersit seperti itu. Debo mencuci tangannya dari busa sabun.

“Ya Allah, Nek. Naha nepi kapikiran siga kitu? Demi Allah, Dede bahagia sareung Nenek jeung Mang Adi didieu. Leureus, emang Dede gaduh cita-cita.. Alhamdulillah Dede berhasil katarima sakola di GB. Eta salah sahiji ti cita cita Dede, disamping cita-cita nu sanes. Tapi, teu aya niat sedikitpun oge, jang ninggalkeun Nenek. (Ya Allah, Nek. Kok sampe pikiran kayak gitu? Demi Allah, Dede bahagia ma Nenek dan Mang Adi disini. Memang, Dede punya cita-cita. Alhamdulillah Dede berhasil keterima sekolah di GB. Itu bagian dari cita-cita Dede, disamping cita-cita Dede yg lain. Tapi, gak ada niat sedikitpun untuk meninggalkan Nenek).”

Nenek menangis tanpa suara, getir. Matanya yang kecil mengucurkan airmata yg membuat Debo terdiam, merasa bersalah. Debo menunduk dalam.

“Lamun Dede mangkat. Engke Nenek tiiseun atuh (Kalau Dede pergi. Nanti nenek kesepian).” Nenek merajuk.

Semenjak Kakek meninggal, dan Ibu Debo yang merupakan anak pertama Nenek bercerai dengan Ayah Debo, lalu pergi ke Malaysia menjadi TKW.
Nenek kadang menjadi posesif dan agak keras.
Debo menduga, sepertinya Mang Adi sudah menceritakan pada Nenek, menjelaskan dengan baik dan telaten.

“Debo moal hilap ka Nenek, lamun Nenek teu aya, Dede moal mungkin bisa ngaraih semuanya. Sing sakola di Bandung oge, Debo masih keneh tiasa uih. Nenek oge tiasa dongkap nganjang kaditu upami Nenek sono. Nenek tiasa nelepon. Nenek.. (Debo ga akan lupa sama Nenek, tanpa Nenek, Dede juga gak akan meraih semuanya. Kalau sekolah di Bandung juga, Debo masih bisa pulang. Nenek bisa berkunjung kesana sewaktu Nenek kangen. Nenek bisa telpon. Nenek.)”

Nenek memeluk tubuh Debo yang agak kurus. Kaki Debo menyenggol piring cucian. Dia seperti kesulitan mengambil nafas karena begitu kuat pelukannya Nenek.

“Heug, Nenek ngagaekeun hideup. Debo gae sakola asrama di Bandung. Nenek ikhlas. Nenek satuju, Cu. Nenek ridho, InsyaAllah, De (Nenek bolehin kamu. Debo boleh sekolah asrama di Bandung. Nenek ikhlas. Nenek setuju, Cu. Nenek, ridho, InsyaAllah, De..)” Terbata Nenek berbicara.

Debo menutup mulutnya, menahan kebahagiaan dan kesedihan yg bercampur. Dia memeluk Nenek lebih erat.

“Makasih, Nek. Hatur Nuhun. Alhamdulillah ya Allah..” Debo berwirid hamdalah ratusan kali dalam selimut bahagia yang begitu membara.
Tadinya, dia anggap sudah kehilangan harapan.
Ternyata, dia masih memiliki kesempatan itu.

__________________________________________________________________________________
LANJUT KE FANFICT_MIMPI SANG BINTANG-PART 10 : TERPERCIK KASIH

FANFICT_MIMPI SANG BINTANG-PART 8 : NAMAKU CAKKA

LANJUTAN DARI FANFICT_MIMPI SANG BINTANG-PART 7 : KISAH OBIET

PART 8 : NAMAKU CAKKA


Yups!! Pagi ini benar benar sakti!!
Cakka bisa merasakan auranya saat mataku terbuka dan melihat neon di langit langit kamar.
Tidak biasanya Cakka langsung sadar kalo ini hari Minggu.

Biasanya Cakka bangun dengan malas, mengucek mata, meregangkan otot, menyibak tirai dan kaget. Kaget melihat alam sudah terang, terburu-buru mencari handuk yang lupa ditaruh dimana.
Setelah ketemu, mandi dengan waktu teramat singkat.
Setelah semua terasa sempurna, dan ready steady go, Cakka baru sadar. "Ah, ini kan hari Minggu!!!”

Namanya Cakka.
Cakka senang menjadi diri-nya, meski kakaknya bilang Cakka terlalu santai.
Yah, untuk apa terlalu sibuk di usia 12?
Cakka hanya ingin melakukan hal yang ingin dilakukan dan penting baginya.
Minggu ini penting.
Cakka dan Ayah akan berangkat ke Bandung, meluangkan seminggu untuk melakukan beberapa tes ujian masuk ke Sekolah Gema Bhakti.
Dan, berencana stay disana, hingga pengumuman siswa yang lulus diberitakan.
Selanjutnya, kalau masuk, Cakka tidak akan kembali ke rumah dulu, langsung meneruskan perjalanannya, seperti registrasi dan memulai kegiatannya di Gema Bhakti.

Cakka menatap ruangan kamar yang penuh dengan poster Band Laruku, band favorit, mungkin saja ini terakhir dia tidur di kamar ini.
Cakka tarik seprai dan menepuk bantal. Selimut digulung sekenanya, memincingkan mata, apa ini sudah tampak wajar dan pantas dikatakan rapi. Ah peduli amat.

Cakka berjalan hendak mandi, mundur sebentar memandang wajah di cermin lemari. Hmm. Cakka lepas piyama. Menarik handuk. Take a shower. Brrr, ini lah untuk pertama kalinya, dia melakukan ritual mandi lebih pagi. Jam setengah enam.
Ini benar-benar mandi terpagi dalam sejarah hidupnya.
Dan, Cakka melakukannya atas inisiatif sendiri.

Selesai mandi dan berdandan. Cakka pun menuruni tangga rumah, melenggang menuju ruang makan. Biasanya dia makan sebelum mandi.
Jadi, saat Ayah melihat dia muncul dengan wajah segar bugar. Beliau yang sedang menikmati kopi, bengong.

“Ayah tidak sedang mimpi, kan, Cakka?” Godanya. Cakka mengedipkan mata, lalu ketawa.
“Gak gitu juga reaksinya. Kan, Cakka jadi malluuu..” Ucapnya genit. Ayah geleng-geleng kepala.
“Hah? Si Kuncrit kena mantra apa tuh?” Kakak Cakka, Elang, muncul dengan muka kusut, baru bangun tidur.
Dia mengucek mata seolah tidak yakin dengan penglihatannya. Cakka pura-pura gak denger, menyibukkan diri dengan roti dan selai kacang.

“Pagi-pagi udah disuguhi pemandangan yang asing.” Sindir Elang.
Cakka melahap rotinya dengan ekspresi menikmati berlebihan. Elang berjengit ngeri.
“Kamu yakin ga ikut ke Bandung, Lang?” Tanya ayah. Cakka memberikan sandwich buatannya kepada ayah di atas piring. “Thanx.” Ucap ayah.
Elang malas-malasan minum susu. Mbok Ipah datang membawa nampan berisi tiga mangkuk bubur yang masih panas. Menatanya, lalu pergi. Cakka bingung mau menghabiskan roti atau makan bubur yang sangat menggoda.

“Ga bisa, Yah. Aku kan mau ikut festival. Jadi, mau latihan aja di studio.” Cakka berdecak, Elang menengok. “Bener, kuncrit..” Menegaskan.
“Iya, percayaaa..” Cakka sengaja membuat Elang sebal. Sendoknya berdenting menyentuh mangkuk, kasar.
“Bagaimana sih kamu, Elang. Adikmu hendak pergi jauh, sekolah asrama, masa kamu ga bisa antar?” Ayah menegur.
“Emang udah pasti masuk ya, Yah? Ah, masih di Indonesia, kan. Minggu depan juga paling si Kuncrit udah minta pulang.” Celoteh Elang.

Cakka mengangkat sendoknya, menggerakkan dengan lucunya.
“Eits, hati-hati dengan komentar anda. Enak aja!! Tapi, tenang, aku, kan, baik. Aku sudah memafkan kata-kata Mas Elang barusan” Sahut Cakka pede.
Elang ngakak. “Kuncritt. Kuncriitt, tetep aja bocah, tapi sok-sok sekolah asrama. Unbelievable!”
“Kalian ini, bukannya lebih akur lagi. Nanti kalo udah jauh, kangen lho.” Tegur Ayah, pemandangan Cakka dan Elang saling bercanda dan mencibir sudah akrab baginya. Dia kadang gemas, melihat kedua jagoannya begitu jaim menunjukkan rasa sayang. Mereka sebetulnya sangat dekat, saling memperhatikan. Tapi, gengsi.

Elang menyikut Cakka. Cakka menarik nafas sambil menatap Elang dengan muka lelah.
“Yah, Yah. Masa tadi Mas Elang sikut jantung aku. Kekerasan dalam rumah tangga ni, Yah!” Cakka mngadu manja.
Ayah cuma mengacak rambut Cakka yang basah. Elang menyanyi nyanyi kecil.
“Ayo, berhenti main-mainnya. Cepat selesaikan sarapannya. Kita harus segera berangkat. Siang ini, pesawat take off. Moga aja ga delay.”

Cakka rakus menyuapkan roti dan bubur. Elang berjengit mual.
“Ga tergesa-gesa begitu juga. Jangan becanda dulu aja.”
Cakka nyengir, mulutnya penuh dan pipinya mengembung.
Elang memutar bola mata, maklum.

__________________________________________________________________________________
LANJUT KE FANFICT_MIMPI SANG BINTANG-PART 9 : SELIMUT BAHAGIA

FANFICT_MIMPI SANG BINTANG-PART 7 : KISAH OBIET

LANJUTAN DARI FANFICT_MIMPI SANG BINTANG-PART 6 : CINTA PERTAMA

PART 7 : KISAH OBIET

Gema Bhakti adalah impian, bagi yang pernah menjejakkan kaki-nya disana, pasti akan jatuh cinta, dan sangat menginginkannya.

Obiet adalah salah satu dari mereka.
Dia selalu tertarik jika saudaranya yang alumni Gema Bhakti menceritakan dengan detail tentang Gema Bhakti.
Dan, kini, dia sedang gegap gempita karena mendapat beasiswa untuk bersekolah disana.
Dia sudah mengupayakan agar mendapatkan kesempatan jarang ini. Dan keberhasilan ini menjelma menjadi aturan baru agar dia juga berhasil di Gema Bhakti.

Malam ini. Dia sibuk mendaftar barang bawaan yang akan diboyong ke asrama. Bergelut sambil mengingat, sekali-kali membalas SMS saudaranya. Berkonsultasi.
Mama Obiet mendekati, membaca daftar bawaan dengan runut. Mengusap bahu Obiet dengan sayang.

“Jangan bawa gadget dan alat elektronik ya, Mah. Tapi, kata Mas Pongky. Laptop boleh saja, asal kita tertib pemakaiannya, misalnya jangan menyetel lagu dengan suara keras. Terus, gadget apa, ya? PSP, sejenis game gitu kali, ya?”
“Kalau handphone, boleh, gak, Nduk? Coba Tanya Mas Pongky. Kan penting, supaya Mama bisa hubungin kamu, nanyain kabar, jaga komunikasi intens.”
Mama Obiet merapihkan lemari Obiet.
“Katanya, sih, boleh aja. Tapi nanti akan ada razia gitu, handphone-nya diumpetin deh.” Obiet tersenyum nakal. “Tapi, kok, sayang banget kalau gak boleh bawa ipod.” Gumam Obiet, kecewa.
“Bawa dulu aja, mungkin peraturan kan terus di amandemen, disesuaikan dengan kondisi sekarang.”

Saran Mama, senyum Obiet berkembang senang.
“Oia ya, Mas Pongky kan lulusan jadul banget. Sip deh, soalnya aku tanpa musik. Seperti hidup tanpa nyawa.”
Tawa mamah obiet berderai.
“Ojo banget-banget, Nduk. Wis, ben Mama bae sing nyiapke. (Berlebihan kamu, Nak. Udah biar Mama aja yang nyiapin.)”
“Ups, sorry, Mom. Kula nggih ajeng nyiapke, ben mangke boten bingung. (Aku juga mau menyiapkan. Biar nanti gak bingung.)” Tolak Obiet santun.

Mamah Obiet memeluk erat putranya. Obiet merasakan dekap hangatnya dengan mesra. Mengusap-usap punggung tangan Mama dengan sayang.
Cukup sulit Mama Obiet mengizinkan putra sulungnya sekolah ke Bandung. Mereka tinggal di Yogyakarta. Dan, mereka belum pernah terpisah jauh selama ini.

Mama Obiet sangat sulit meredam otoritasnya, karena beliau tidak sanggup menahan rasa rindu dan khawatir jika buah hatinya berada di tempat yang terbentang jarak tak bisa ditempuh oleh satu-dua jam perjalanan memakai kendaraan pribadi.
Tapi, melihat kekuatan dalam tekad Obiet, Mama tidak mau menjegal dan membuat Obiet pilu.
Obiet tidak pernah menyusahkan, tidak manja dan selalu berjuang lebih keras dari teman sebaya-nya.

“Mama janji sesuk arep tilik kowe, Nduk. (Mama janji akan usahakan jenguk kamu, sayang.)” Ucap Mama, lembut.
Ada rasa resah menerpa batin Obiet. Dia berharap, keputusannya tidak merugikan dan membuat Mama sedih. Apalagi, Gema Bhakti sudah meracuni khayal Obiet sejak kelas empat.

“Matur nuwun nggih, Ma. (Makasih ya, Ma.) Udah memperbolehkan Obiet sekolah di Gema Bhakti. Maaf kalau Obiet egois demi ini. Toh Mama tetap pertama, terbaik dan terunggul bagi Obiet.” Obiet mencium pipi Mama, membalas pelukannya. Namun tak mau hanyut, Obiet melepas dan menguatkan Mama-nya.
“Obiet, mutiara hati, Mama. Harta karun Mama paling berharga.” Lirih Mama. Obiet terhenyak. Dia ingin menangis karena begitu bahagia.
“Obiet hanya tiram di dasar laut, yang sedang berjuang menghadapi tekanan air laut, dan perihnya pasir. Hendak menjadi mutiara istimewa bagi Mama. Tolong dukung Obiet, ya, Mah.”

____________________________________________________________________________________
LANJUT KE FANFICT_MIMPI SANG BINTANG-PART 8 : NAMAKU CAKKA

FANFICT_MIMPI SANG BINTANG-PART 6 : CINTA PERTAMA

LANJUTAN DARI FANFICT_MIMPI SANG BINTANG-PART 5 : HARVESTING THE KNOWLEDGE

PART 6 : CINTA PERTAMA

Zahra tidak ingat tepatnya kapan.
Waktu itu dia masih terlalu muda untuk tersadar bahwa secara manusiawi hatinya tertarik pada cowok, tetangganya yang dia anggap istimewa.
Zahra tahu usia-nya sedang melalui masa pubertas. Masa ketika seorang anak mengalami perubahan fisik, psikis, dan pematangan fungsi seksual.
Masa pubertas dalam kehidupan kita biasanya dimulai saat berumur delapan hingga sepuluh tahun dan berakhir lebih kurang di usia 15 hingga 16 tahun.

Pubertas merupakan periode transisi dan tumpang tindih. Dikatakan transisi sebab pubertas berada dalam peralihan antara masa kanak-kanak dengan masa remaja. Dikatakan tumpang tindih sebab beberapa ciri biologis-psikologis kanak-kanak masih dimilikinya, sementara beberapa ciri remaja dimilikinya pula.

Sejalan dengan perkembangan fisiknya, pada masa remaja juga akan terlihat jelas berbagai perubahan yang menyangkut aspek psikis, sosial dan prilakunya.
Pada masa ini mulai muncul kebutuhan akan privasi, keintiman dan ekspresi erotik. Ditandai dengan mulai tumbuh ketertarikan pada lawan jenisnya dan keinginan untuk menjalin hubungan yang lebih dekat dengan lawan jenisnya.
Dan, persoalan mengapa dia kesulitan untuk menolak kehadiran Debo dalam tiap lamunannya, dirasa wajar.

Zahra tidak malu berkonsultasi dengan Bundanya. Bagaimanapun dia ingin punya teman curhat yang mampu memberikan solusi terbaik.
Bunda Zahra dengan bijak menanggapi. Bahwa perasaan kagum yang ditujukan untuk Debo, normal. Tak perlu malu dan merasa tertekan. Apalagi, menurut bunda Zahra, Debo anak yang baik dan sopan. Seraya menenangkan.
Debo yang tampak cuek dan tidak memperhatikan, dan perasaan Zahra yang ditujukan padanya seolah tidak direspon. Bunda bilang tak perlu cemas dan minder.
Itu bukan berarti Debo tidak suka, atau Zahra tidak menarik. Mungkin, ada hal yang lebih Debo prioritaskan. Sehingga tidak sempat untuk menyimak sikap Zahra. Lebih baik, Zahra fokus pada tanggung jawab sebagai pelajar, lebih berprestasi, supaya nantinya Debo tersadar dan bisa kagum padanya.

Bunda Zahra sangat mengerti bahwa selama masa penyesuaian remaja akan bersikap irasional, mudah tersinggung dan sulit dimengerti. Hal ini karena adanya konflik dalam dirinya, frustasi, kebimbangan dan bahkan mungkin keputusasaan. Kehadiran problem emosional bervariasi antara setiap remaja.

Berita Debo yang akan menolak beasiswa di Gema Bhakti, Zahra ceritakan dengan berapi-api, dia agak kesal karena Debo menyia-nyiakan peluang besar yang hampir semua anak inginkan.
Zahra juga bete banget karena Debo tidak tampak sedih saat Zahra mengatakan akan pindah.

Ibunda Zahra mendengar dengan seksama. Beliau sedang memberi label pada dus besar yang tersusun rapi dengan spidol. Zahra membuntuti sambil terus mengeluarkan uneg-uneg-nya.
Rumah Zahra sudah lenggang. Tidak ada peralatan rumah karena sudah di angkut oleh truk ke Bandung. Hanya ada beberapa dus perlengkapan rumah tangga. Koper berisi baju. Dan satu unit springbed berikut bed cover.
Mereka pindah karena ayah Zahra pindah dinas ke kabupaten Bandung. Dan, bisnis perhotelan mereka, dipercayakan untuk dikelola oleh karyawan tetap Bunda Zahra.
Bunda duduk di atas dus besar. Zahra cemberut.

“Bunda bisa lobi Nenek Debo, gak? Dipengaruhin gitu lah.”
Bunda tersenyum geli. Zahra serius dengan ucapannya.
“Sayang, Nenek Debo pasti udah mempertimbangkan segalanya. Bunda gak punya hak untuk menentang pilihannya, kan?”
“Yah, Bunda mah. Ah, lihat aja. Besok sebelum berangkat, aku mau menemui Om-nya Debo. Sama Neneknya juga, deh. Aku kasihan sama Debo. Pasti dia kecewa banget! Gema Bhakti gitu loh, beasiswa pula.”

Bunda mengelus rambut Zahra yang agak panjang dan tebal.
“Oia, Bun, aku juga jadi, deh, daftar ke GB. Tapi yang Ujian Masuk Pusat. Boleh, kan?” Zahra menggelendot manja. Matanya merayu. Bunda mengecup kening Zahra.
“Iya!!” Senyum Zahra terkembang.
Tampak giginya yang di behel dengan pernik berwarna pink. Zahra memeluk erat.
“Duhh, Bundaku yang cantik dan menawan, Merci beaucoup, Bunda. I Love you.”

__________________________________________________________________________________
LANJUT KE FANFICT_MIMPI SANG BINTANG-PART 7 : KISAH OBIET

Kamis, 03 Juni 2010

FRIENDSHIP NEVER END [MUSICAL ADV] --> Last Chapter - Chapter 8 : Lagu Untuk Debo

Debo memandang wanita setengah baya, di hadapannya tersebut. Seketika pandangannya memelas, supaya mamanya mampu mengabulkan permohonannya kali ini. “Ma… Debo mohon…”

Mama Debo terus menangis. Namun beberapa saat kemudian ia menyeka air matanya, dan menatap mata Debo, dalam. “Kalau memang, itu yang terbaik. Baiklah… Mama ijinin sayang…”

Debo pun segera memeluk mamanya. Dan ia pun bergumam pelan. “Terima kasih ma…” Mama Debo mengangguk. Perlahan air mulai membanjiri pipinya kembali. Ia mempererat pelukannya pada anak semata wayangnya tersebut. Berharap, ini adalah pelukan terakhir yang bisa selalu diingatnya selama masa hidupnya.

-

Ayah Obiet masuk dalam ruang perawatan Obiet dengan tergesa-gesa. Ia pun segera mengabarkan kabar gembira yang didapatnya dari dokter beberapa saat yang lalu. Bahwa dokter telah menemukan donor hati untuk Obiet. Obiet menutup mulutnya dalam rasa syukur yang begitu membara. Berita yang sangat ia tunggu-tunggu pun akhirnya tiba.

“Besok waktu operasinya. Jaga kondisi baik-baik ya.” ujar ayah Obiet mengingatkan. Obiet mengangguk. Namun, entah mengapa perasaannya tak sepenuhnya senang. Ada sesuatu yang sedikit mengganjal dalam hatinya. Entah apa itu…

-

Siang dan malam terus berganti. Entah sudah berapa hari berlalu semenjak Obiet menjalani operasi. Dan hari ini, ia pun sudah diperbolehkan pulang, dan menjalani hari-hari layaknya anak biasa. Namun, sebelum pulang, ia meminta kedua orang tuanya untuk mengantarkannya ke makam seseorang yang telah berbaik hati mendonorkan hati yang ada dalam dirinya saat ini. Orang tuanya menyanggupi, dan Oik hanya bisa terdiam. Karena ia sadar, cepat atau lambat Obiet pasti akan mengetahui siapa orang yang mendonorkan hati untuknya, meskipun ia berusaha untuk menyembunyikannya.

Obiet terus berjalan di belakang orang tuanya, menyusuri jalan setapak yang dikelilingi oleh puluhan nama yang terukir rapi dalam nisan. Hingga mereka berhenti di suatu makam. Seorang wanita berkerudung, tampak duduk tertunduk di depan makam itu. Lalu perlahan, wanita itu mengangkat wajahnya, menatap Obiet beserta keluarganya.

“Nurhalimah?” seru mama Obiet seraya menghampiri wanita berkerudung itu.

Obiet terhenyak. Tentu saja ia mengenali siapa wanita itu. Ibu dari sahabat kecilnya… Seketika, firasat buruk mulai menyelimutinya. Sekuat tenaga, ia membaca sebuah nama yang terletak di makam tersebut.

Andryos Ariyanto

Lututnya lemas seketika. Ia menggeleng kuat. Mencoba menyangkal, bahwa ini bukanlah kenyataan. Oik menangis. Ia pun mendekati Obiet dan merangkulnya erat. “Maaf, kak. Selama ini aku gag jujur sama kakak.” Obiet menoleh cepat pada Oik. Ia terkejut bahwa ternyata Oik telah mengetahui siapa pendonor hati itu, sebelumnya.

Oik pun menceritakannya dengan jelas. Setelah Debo dan Obiet saling meminta maaf, Debo memberitahunya sesuatu. Bahwa ia berniat untuk mendonorkan hatinya pada Obiet. Sebelumnya, Oik sempat menolak permintaan Debo untuk melakukan itu. Namun, Debo tetap bersikeras, seakan-akan ia telah memikirkan niatnya tersebut secara matang.

Obiet menutup mulutnya, tak percaya. Seketika, suara gemuruh terdengar keras di telinganya. Air mulai turun ke bumi menyatukan semua bebannya. Serasa bumi turut menangisi kepedihan mereka saat ini. Obiet menangis hebat. Ia biarkan hujan mengguyur seluruh tubuhnya. Dalam hati, ia terus memberontak. Dan melontarkan satu kata yang entah kapan bisa terjawab.

Mengapa?

-

-

2 bulan kemudian…

“Obiet.”

Obiet menoleh saat mendengar namanya dipanggil oleh seseorang. Dan ia menyunggingkan senyumnya saat menatap Zahra berjalan mendekat. “Kak Zahra? Kenapa bisa disini?”

“Diajak Sivia.” jawab Zahra.

“Apa kabar, kak?”

Zahra tersenyum lebar seraya mengangkat satu jempolnya, seakan memberitau Obiet bahwa keadaannya begitu baik. Zahra mengedarkan pandangannya ke sekeliling aula. Ya. Aula ICJHS, yang telah dihias sedemikian rupa demi pensi tahun ini. Kemudian, pandangannya terhenti tepat di tengah panggung. Tampak adik perempuannya─Sivia dan satu temannya─Gabriel, sedang berimprovisasi dalam nyanyian, memadukan musik Jazz dan Rock.

-Flashback-

Zahra terperanjat saat Sivia mengabarkan satu hal yang sukses membuatnya begitu gembira. “Kak, aku udah dapat donor mata buat kakak !” Sivia merangkul erat kakaknya tersebut, “Kakak masih ingat, anak laki-laki yang nganterin kakak pulang waktu itu? Debo… Dia yang berniat donorin matanya buat kakak…”

-Flashback End-

Tepuk tangan riuh terdengar hingga seisi ruangan, menutup penampilan dari Sivia dan Gabriel. Sivia dan Gabriel berlari mendekat ke arah Obiet yang sedang berkumpul bersama murid kelas 8D yang lain. “Selanjutnya giliran kalian. Kalian sudah siap?” tanya Gabriel. Mereka mengangguk pasti. Kemudian, berjalan perlahan menuju panggung. Mereka membentuk satu barisan menyamping, dan memandang seisi ruangan yang mulai hening.

Obiet maju satu langkah, mendekat ke arah microphone. Ia berujar pelan, “Kami dari kelas 8D, ingin mempersembahkan suatu lagi untuk teman kami yang telah tiada… Debo…” Kemudian, ia mundur satu langkah, kembali ke tempat semula.

Musik intro mulai terdengar, dan mereka mulai menyanyikan satu lagu.


Mengenangmu di hari itu
Di saat ku masih bisa melihat senyumanmu
Meyapamu di pagi itu
Di saat ku masih bisa bercanda dan berbagi tawa

Namun kini kau telah pergi dan takkan kembali
Semoga kau dapatkan tempat terbaik
Di sisi-Nya

Bilakah kau bersedih bila kau menangis
Kan kuhapus tangisku asal kau bahagia
Dan bilakah kau kini telah disisinya
Kuharap kau disana tetap selalu tersenyum ceria


Bunyi derasnya hujan, tampak terdengar seakan ikut mengiringi alunan lagu itu. Obiet memandang sekeliling. Semua anak tampak menangis, tertahan. Mata mereka tersirat rasa kehilangan yang begitu mendalam. Obiet tersenyum hambar─menatap rintik hujan yang mulai menderas.

Debo…

Kau lihat?

Meski kini kau tak berada di satu panggung bersamaku…

Meski kini kau tak akan pernah kembali lagi…

Perlu kau tau satu hal…

Persahabatan ini tak akan pernah berakhir…

FRIENDSHIP NEVER END


F.I.N

FRIENDSHIP NEVER END [MUSICAL ADV] --> Chapter 7 : Bernafas Tanpamu

Malam telah larut… Di salah satu ruangan dalam rumah sakit, dua orang anak sedang berdiam diri dalam keheningannya masing-masing. “Aku takut mati, Ik…” ucap seorang dari dua anak tersebut. Ia biarkan tubuh lemahnya terbaring di atas tempat tidur. Ia tutup matanya perlahan. Mengulas memori-memori indah dalam kehidupannya.

Oik menatap anak itu lekat-lekat. Air matanya bergulir jatuh tanpa diminta.

“Masih banyak yang belum aku lakuin… Bahkan aku belum minta maaf padanya.” ucap anak itu seraya membuka matanya kembali.

………………………………..
Mungkin kau bertanya-tanya
Arti perhatianku terhadapmu
…………………………………….

Oik terdiam. Ia seka air matanya dengan punggung tangannya. “Apa karena ego kakak lagi?”

Anak laki-laki itu tersenyum pahit. “Mungkin.” Ia menolehkan kepalanya pada anak perempuan yang duduk di kursi, samping tempat tidurnya. “Aku takut, permintaan maafku gag sebanding dengan apa yang udah aku lakuin selama ini… Aku takut, dia gag maafin aku.”

-

Oik menghentikan langkahnya, saat melihat Debo sedang duduk termangu di taman Rumah Sakit. Dalam hati ia bertanya-tanya mengapa Debo bisa berada di sana, tengah malam begini. Perlahan, ia mendekati Debo, dan duduk di bangku kayu yang berada di sebelah tempat Debo sedang duduk di kursi rodanya.

Debo menoleh, dan mendapati Oik sedang tersenyum padanya. Ia membalasnya dengan senyuman tipis. “Kenapa kamu bisa ada disini?”

“Seharusnya aku yang tanya begitu.” protes Oik, yang disambut dengan cengiran Debo. “Sama siapa, De?” tanya Oik penasaran.

“Cakka.” jawab Debo. “Dia lagi beli minuman di kantin.” lanjutnya ketika menyadari Oik sedang mengedarkan pandangannya, mencari keberadaan Cakka.

Oik pun menengadahkan kepalanya, menatap taburan bintang di langit malam. “Apa begitu susah, untuk memaafkan seseorang?” tanyanya lirih.

Debo terhenyak. Alisnya bertaut satu sama lain, “Maksudmu?”

Oik menatap anak laki-laki di sampingnya, kembali. “Aku boleh cerita sesuatu?” pinta Oik, yang diikuti dengan anggukan Debo. “Mungkin kamu belum tau ini… Obiet adalah kakak kembarku… Aku sengaja merahasiakannya pada orang lain. Aku gag mau orang lain mengenaliku dengan status ‘bersaudara’ dengan salah satu anggota geng berandalan itu. Kamu tau? Aku juga benci sama dia. Aku sama sekali gag akan pernah memaafkan dia jika dia tetap memutuskan gag akan keluar dari geng itu. Tapi beberapa hari yang lalu… Aku mendengar keputusan yang tegas dari dia. Di depan mataku sendiri… Dia keluar dari geng itu. Dia mau memulainya dari awal. Dia gag mau membuat orang lain tersakiti lagi karena sikapnya. Karena itulah, aku menekan perasaan benciku darinya. Dan perlahan… rasa benci itu, terbayarkan dengan kata maafnya…” Kalimat demi kalimat tersebut akhirnya meluncur dari bibir mungil Oik.

Debo tercengang.

Oik tertegun. “Maaf Debo… Mungkin permintaanku ini terlalu egois… Tapi aku mohon, maafkanlah Obiet…” pinta Oik memelas.

-

Cakka mengambil beberapa lembar uang ribuan dari saku celananya, kemudian menyerahkannya kepada penjual minuman di kantin. Setelah itu, ia pun melangkahkan kakinya menuju taman Rumah Sakit, tempat Debo menunggunya. Namun, langkahnya terhenti saat melihat dokter dan perawat-perawat kalang kabut─berlari menuju salah satu kamar yang sedang dilewati Cakka.

DEG !

Cakka terkesiap. Bungkusan tas plastik berisi minuman botol yang dibelinya tadi, terlepas begitu saja dari genggaman tangannya. Dan sejurus kemudian, ia berbalik dan mengambil langkah cepat beranjak dari tempat itu.

-

Debo tak bergeming. Oik semakin putus asa dibuatnya. “Aku tau, itu sulit. Tapi yang perlu kamu tau, kesalahan Obiet padamu, sama sepertiku. Kesalahannya hanya satu, kan? Beda dengan kak Zahra… Dia sudah berkali-kali sakit hati karena sikap Obiet. Namun, dia selalu membuka pintu maafnya pada Obiet.” Oik terdiam sesaat, memperhatikan raut wajah Debo yang mulai melunak. “Jadi… kamu mau maafin Obiet, kan?”

…………………………………..
Pasti kau menerka-nerka
Apa yang tersirat dalam gerakku
……………………………………….

Debo menatap gadis di sampingnya─tak percaya, “Mengapa justru kamu yang bersikeras minta aku maafin dia? Kenapa dia gag datang sendiri untuk minta maaf?”

Oik tertegun. “Debo… Tolong pahami keadaannya…” Debo mengerutkan keningnya─tak mengerti. Belum sempat Oik menjawab, tiba-tiba suara panggilan keras terdengar di belakang mereka. Mereka berdua menoleh dan mendapati Cakka sedang berlari ke arah mereka.

Dengan nafas yang masih terengah-engah, Cakka berusaha memberitau sesuatu pada Oik. “Obiet─” Dan hanya dengan satu kata yang sempat terucap dari mulut Cakka, Oik pun segera tau maksud Cakka. Ia langsung berlari dari tempat itu. Cakka segera mendorong kursi roda Debo, dan mengikuti langkah Oik dari belakang.

-

Debo menatap kosong ke depan. Bayangan Obiet saat ia melihatnya dari celah jendela, terputar berulang kali dalam benaknya. Debo menundukkan kepalanya dalam diam. Satu hal yang membuatnya tak mengerti adalah, mengapa Obiet mengeluarkan banyak darah dari mulutnya?? Ia terus berdebat dengan pikirannya, atas ketidak mengertiannya saat ini.

Oik mendudukkan dirinya di samping tempat Debo duduk di kursi rodanya. Ia menutup wajahnya, dengan telapak tangannya. Perlahan, isak tangis terdengar dari balik tutupan tangannya tersebut.

“Sebenarnya apa yang terjadi pada Obiet?” tanya Debo lirih, yang diikuti dengan gelengan kepala Cakka, yang bermaksud menjelaskan bahwa tak ada sesuatu yang buruk yang terjadi pada Obiet.

………………………………………
Akulah serpihan kisah masa lalumu
Yang sekedar ingin tahu keadaanmu
……………………………………….

“Kita harus memberitahunya, Cak!” sergah Oik tegas. Air mata terus mengalir dari matanya yang sipit.

Cakka menatap Oik, tak percaya, “Ik, kamu masih ingat kan, apa janjimu pada Obiet?”

“Tapi kita gag bisa nyembunyiin ini terlalu lama! Debo juga harus tau semua ini!” seru Oik, sesenggukan. Cakka melenguh dan akhirnya ia pun menyerah. Oik mengalihkan pandangannya pada Debo, “Debo, dengar aku…”

Debo memandang mata Oik yang sembab. Tampak keraguan yang terpancar dari raut wajahnya. “katakan…” ucapnya pelan.

“Obiet terkena ‘sirosis’… Kanker hati…”

-

Debo mengerutkan keningnya, saat mamanya masuk ke dalam kamar perawatannya dengan tergesa-gesa. Dan yang membuatnya lebih heran lagi, mamanya hanya diam saat dirinya bertanya, “Ada apa?”.

Perlahan, air mata mulai menetes dari mata sang mama. “Ma? Mama kenapa?” seru Debo panik. Mama Debo tetap menangis, namun beberapa saat kemudian ia menatap mata Debo, dalam. “Dede’...” Perlahan jemarinya memegang kedua pipi Debo, lembut. Debo sama sekali tak mengerti.

“Barusan, mama diberitau ayah Cakka… Dia bilang… Dia─dia bilang…” Mama Debo tampak sulit meneruskan perkataannya. Di satu sisi, ia merasa tak tega harus mengatakannya. Namun, di sisi lain, ia berpendapat bahwa Debo harus tau hal ini.

“Ma?”

Mama Nur memandang Debo, nanar. Kemudian perlahan ia membuka mulutnya kembali. “Saat kamu dilarikan ke rumah sakit beberapa hari yang lalu… Dokter mengatakan sesuatu pada ayah Cakka. Dokter bilang… kaki kamu harus diamputasi…”

-

Debo menghentikan kursi rodanya sesampainya di taman RS. Satu hal yang menjadi rutinitas Debo beberapa hari ini.

Merenung.

Sejak semua ketidak mengertiannya terungkap, kenyataan-kenyataan pahit terlihat jelas di hadapannya. Dalam hati, ia terus-terusan merutuk takdirnya! Ia bahkan sempat protes pada Tuhan, yang selalu memberikan cobaan yang tiada henti terhadapnya.

“Dokter bilang… kaki kamu harus diamputasi…”

Debo tersenyum kecut ketika perkataan mamanya tempo hari, terngiang kembali dalam benaknya. Ia beranggapan, ‘buat apa aku hidup tanpa sepasang kaki? hanya akan menambah beban orang-orang disekitarku!’

Debo memejamkan matanya perlahan. Menghirup udara sore yang beraroma sejuk sehabis hujan. Tiba-tiba, entah dari mana asalnya, bayangan Obiet terlintas begitu saja dalam benaknya.

“Jarak bukanlah alasan untuk memutuskan persahabatan…”

“Persahabatan kita tetap terjaga…”

“Brothers On 3… Geng berandalan…”

“Meskipun kamu yang benar dalam masalah ini.. Yang perlu kamu tau, guru-guru gag akan campur tangan.. Gag ada yang bisa menentang mereka..”

“Aku tau.. Permintaan maaf ini gag sebanding dengan apa yang udah aku lakuin tadi siang.. Tapi.. jika bisa.. Jika bisa.. Tolong maafin aku..”

“DEBOOOO……!!!!!!”

“Aku mendengar keputusan yang tegas dari dia. Di depan mataku sendiri… Dia keluar dari geng itu. Dia mau memulainya dari awal. Dia gag mau membuat orang lain tersakiti lagi karena sikapnya.”

“Maaf Debo… Mungkin permintaanku ini terlalu egois… Tapi aku mohon, maafkanlah Obiet…”

“Obiet terkena ‘sirosis’… Kanker hati…”

Satu tetes air mendarat di punggung tangan Debo. Ia mengusapnya. Kemudian, ia menempelkan telapak tangannya di matanya yang basah. Air mata? Aku menangis?, batinnya. Debo menyeka air matanya, peralahan. Lalu, mulutnya menggumam kecil, “Sirosis?” Ia tundukkan kepalanya dalam-dalam. Air kembali membasahi matanya…

Tuhan… apa aku harus melakukan ini?

-

Debo memutar roda kursinya menuju kamar perawatan Obiet. Ia menarik nafas terlebih dahulu sebelum membuka kenop pintu. Dan tampak seorang anak laki-laki yang sedang duduk di tempat tidurnya, serta seorang anak perempuan yang sedang duduk di sofa, dalam kamar itu.

Anak perempuan itu berdiri, memandang Debo takjub. Dan lalu sedetik kemudian, ia tersenyum lebar. Ia berharap, Debo datang kesini dengan niat untuk memaafkan Obiet. Dengan riang, ia menghampiri Debo dan mendorong kursi roda Debo mendekat pada Obiet.

……………………………………………
Tak pernah aku bermaksud mengusikmu
Mengganggu setiap ketentraman hidupmu
…………………………………………….

Obiet menatap Debo, canggung. ‘Mungkin ini waktu yang tepat untuk meminta maaf’, batin Obiet. Namun, sebelum ia mengutarakan kata maafnya, tiba-tiba ucapannya terpotong oleh Debo.

“Maaf…” ucap Debo dengan kepala tertunduk. Obiet terkejut. Begitu pula dengan Oik. Debo pun mengangkat kepalanya, dan menatap wajah Obiet yang agak pucat. “Selama ini, aku yang terlalu jahat. Karena gag pernah sekali pun maafin kamu. Jadi, tolong maafin aku ya, Biet…” ujarnya sembari menyunggingkan senyum lebarnya.

Obiet tercengang. Namun, sejurus kemudian, ia tersenyum. “Maafin aku juga ya, Debo.” Debo mengangguk pasti. Oik menghela nafas lega. Akhirnya, mereka bertiga pun asyik berbincang. Menceritakan kisah seru mereka selama terpisah. Hingga beberapa jam berlalu. Matahari telah kembali di peraduannya.

Debo terdiam sesaat, lalu menatap kedua mata Obiet, tajam. “Biet… Boleh aku minta satu permohonan.” Obiet mengangguk. “…Jika aku sudah gag ada lagi, tolong tetap jaga persahabatan ini…”

……………………………………….
Hanya tak mudah bagiku lupakanmu
Dan pergi menjauh
……………………………………….

Obiet terhenyak. Dalam hati, ia bertanya-tanya sekaligus tersenyum hambar. ‘Seharusnya aku yang mengatakan ini’, batinnya. Namun, ia mengurungkan niatnya. Ia sudah bertekad tak ingin memberitahu Debo masalah penyakitnya, sampai waktu menjemputnya.

Debo pun pamit untuk kembali ke kamarnya. Obiet mengiyakan. Meskipun ia masih ingin mengobrol dengan Debo. Namun, ia juga semestinya sadar kondisi Debo saat ini. Oik pun juga pamit untuk mengantar Debo menuju kamarnya. Hitung-hitung sebagai ucapan terima kasih karena Debo mau memaafkan kakak kembarnya tersebut.

Oik terus mendorong kursi roda Debo, melintasi koridor-koridor rumah sakit. Hingga langkahnya terhenti saat Debo menggumam sesuatu. “Aku mau bicara sesuatu.”

Oik pun mendorong kursi roda Debo menepi, dan duduk di kursi kayu di samping kursi roda Debo. Ia terhenyak saat melihat raut wajah Debo lebih jelas. Raut kekhawatiran, keraguan, ketakutan, kesedihan, kebimbangan, seakan bercampur menjadi satu dalam dirinya. “Debo?”

Debo pun menceritakan segala niat yang telah ia pikirkan sedari tadi pada gadis di sampingnya tersebut.

Mulut Oik ternganga lebar. Perlahan, air mata yang mulai dibendungnya sedari tadi menetes. Ia menggeleng kuat. Ia benar-benar tak setuju pada ide Debo saat ini. Meski ini demi kebaikannya dan kebaikan orang-orang di sekitarnya. Namun, ia sama sekali tak setuju… Tak setuju…

…………………………………….
Beri sedikit waktu
Agar ku terbiasa bernafas tanpamu
……………………………………..

--to be continued--