Debo merebahkan tubuhnya di atas hamparan rumput hijau, di bawah bayang-bayang pohon besar yang berada di tepi sungai. Ia menghirup nafas dalam-dalam, menikmati udara sore yang sangat sejuk.
Obiet duduk menyandarkan punggungnya pada sebuah pohon yang sangat kokoh, di samping Debo. Ia sangat gelisah saat ini. Beribu kebimbangan bersarang bebas di otaknya. Ia menatap Debo lekat-lekat. Ia tak tega jika harus mengatakan yang sebenarnya pada Debo. Entah apa reaksi Debo jika ia mengatakannya.
“Biet?” panggil Debo.
Obiet segera tersadar dalam lamunannya dan menatap Debo. Mulutnya membuka sesaat, lalu terkatup kembali. Saat Obiet mengira ia memang tak akan mengatakannya, kata-katanya perlahan meluncur. Dalam hati, ia terus meyakinkan dirinya bahwa ia memang harus mengatakannya, “De… Aku mau pindah ke Jakarta…”
Debo terhenyak. Ia sungguh terkejut mendengar ini. Ia pun hanya bisa diam tak bergeming. Ia sudah tak tau lagi harus me-respon bagaimana. Yang ada di benaknya saat ini hanyalah bahwa ia tak mau jika takdir harus memisahkannya dengan Obiet, sahabat yang selama ini selalu berada di dekatnya.
“Oh…” jawab Debo pahit, matanya menutup. Ia tak rela harus berpisah dengan Obiet. Tapi, ia tak punya hak mencegahnya untuk tidak pergi.
Hatiku sedih, hatiku gundah
Tak ingin pergi berpisah
Obiet menatap Debo, sayu. Ia menyesal telah mengatakannya. Jujur, ia tak setuju saat ayah mengajaknya pindah ke Jakarta. Sungguh sulit baginya harus meninggalkan tempat dimana ia dibesarkan ini. Terlebih, meninggalkan Debo, sahabat satu-satunya. Seorang yang selalu mengajarkannya akan arti persahabatan yang mempunyai makna lebih dari apapun.
Hatiku bertanya, hatiku curiga
Mungkinkah kutemui kebahagiaan seperti di sini
Debo membuka matanya perlahan. Kedua bola mata hitamnya menerawang langit yang bergoreskan garis-garis oranye di langit senja.
“Jarak bukanlah alasan untuk memutuskan persahabatan…” ucap Obiet bijak.
Debo melayangkan pandangannya ke arah Obiet. Mata mereka beradu pandang selama beberapa saat, sampai Debo menghela nafas pelan.
Sahabat yang selalu ada
Dalam suka dan duka
Debo menarik senyumnya. Kemudian, ia beringsut bangkit dari posisinya dan duduk di samping Obiet. “Ya… Jarak yang jauh tak akan bisa memutuskan persahabatan. Kita tetap bersahabat kan?” tanya Debo.
Obiet tersenyum lebar dan mengangguk pasti. “Persahabatan kita tetap terjaga…”
Sahabat yang selalu ada
Dalam suka dan duka
-
Debo duduk di sisi tempat tidurnya, sembari terus memandangi bingkai foto yang memamerkan dua wajah manis anak laki-laki. Foto dirinya dan Obiet… Sudah kegiatan rutinnya memandang foto itu sebelum tidur. Dan membuat serpihan kenangan lima tahun yang lalu terputar jelas dalam benaknya. Kejadian di hari terakhirnya berbincang dengan Obiet. Memang sakit mengingatnya. Namun, itulah yang harus ia lakukan supaya ia tak pernah lupa pada satu sosok yang pernah mengisi hari-harinya dengan tawa…
Tempat yang nyaman kala ku terjaga
Dalam tidurku yang lelap
-
Debo melangkah menyusuri lorong-lorong, ditemani oleh Pak Duta, salah satu guru di ICJHS (Idola Cilik Junior High School). Sepanjang perjalanan menuju kelas barunya, Pak Duta sesekali menerangkan tempat-tempat yang mereka lewati. Namun, pikiran Debo justru tak terarah ke penjelasan Pak Duta. Ia memikirkan teman-teman baru yang akan ia temui nantinya. Tangannya gemetaran, dan jantungnya berdebar tak karuan. Mungkin dia terkena sindrom grogi anak baru.
Tiba-tiba, sekilas ia melihat suatu poster terpampang di dinding koridor. Foto tiga orang anak terpampang di poster itu. Samar-samar ia melihat satu dari tiga anak itu, cukup mirip dengan seseorang yang ia kenal. Dan saat ia hendak memfokuskan diri untuk lebih jeli melihat poster itu, Pak Duta menegurnya dan memberitahukan bahwa mereka telah sampai di depan kelas Debo.
Pergilah sedih, pergilah resah
Jauhkanlah aku dari salah prasangka
Pak Duta pun membuka pintu kelas VIII D, dan masuk ke dalam, untuk memberitau pada guru pengajar di kelas itu, bahwa ada murid baru. Setelah itu, Pak Duta memberi kode mata agar Debo masuk, sebelum meninggalkan kelas tersebut. Debo mengangguk seraya melangkahkan kakinya masuk ke dalam kelas.
“mm… Silahkan perkenalkan diri.” pinta Bu Winda, guru pengajar.
Debo mengangguk dan menatap teman-teman sekelasnya. “Nama saya Andryos Ariyanto. Tapi biasa dipanggil Debo. Salam kenal…”
Bu Winda tersenyum dan memberi kesempatan pada murid-muridnya apabila mereka ingin menanyakan sesuatu pada Debo. Anak-anak mulai mengacungkan tangannya dan berbondong menanyakan sesuatu pada Debo. Mulai dari asal sekolah, tanggal lahir, makanan favorit, serta semua hal yang tak begitu penting. Dan setelah dirasa tak ada pertanyaan lagi, Bu Winda menunjuk satu kursi kosong di samping seorang anak laki-laki berkulit sawo.
Debo melangkahkan kakinya ke kursi tersebut dan disambut dengan cengiran polos teman duduknya tersebut.
“Hai… Namaku Patton. Salam kenal…” ucap laki-laki itu memperkenalkan diri.
Debo menyunggingkan senyum manisnya. Rasa groginya sudah mulai hilang, karena dugaannya terhadap teman-teman barunya yang semula ia anggap sombong, salah. Mereka terlihat sangat ramah.
Tiba-tiba, pintu terbuka. Dua orang anak laki-laki masuk ke dalam kelas.
“Lagi-lagi telat…” tegur Bu Winda sambil berkacak pinggang.
Salah satu dari dua anak tersebut, maju satu langkah mendekat pada Bu Winda, dan menantangnya, “Protes?” Sementara anak yang satunya, melipat tangannya di dada sambil geleng-geleng kepala, penuh kemenangan.
Debo menyenggol sikut Patton dan bertanya, “Siapa mereka?”
“Mereka BO3… Brother On 3…” jawab Patton berbisik agar Bu Winda tak mendengar obrolan mereka.
“Apaan tuh?” tanya Debo tak mengerti.
“Geng berandalan… Itu geng yang punya kedudukan tinggi di sekolah ini. Semua guru tunduk sama mereka.” ujar Patton.
Debo hanya bisa mengerutkan kening, bingung. “Kok bisa gitu? Bagaimana pun juga, mereka kan tetap murid. Masa’ guru takut sama muridnya sendiri?”
Patton mengangguk setuju, “Aku juga bingung. Yaahh… Mungkin mentang-mentang ketua mereka, anak dari pemilik sekolah ini. Mereka jadi seenaknya sendiri. Setiap murid atau guru yang cari masalah sama mereka, pasti langsung di DO.”
“Yang mana ketua mereka?” tanya Debo penasaran.
Patton menunjuk anak yang melipat tangannya di dada sambil geleng-geleng kepala, “Itu ketuanya… namanya Cakka…”
Kemudian, Patton menunjuk satu anak yang tadi menantang Bu Winda, “Kalau itu Irsyad…”
Debo terus mengamati kedua anak itu dari atas hingga bawah, hingga Bu Winda mengijinkan kedua anak itu duduk di mejanya. Saat mereka berdua melewati meja Debo, sekilas Debo dapat melihat lirikan sinis dari Cakka. Debo hanya bisa menghela nafas pelan. Dan bertekad kuat, ia tak mau mencari masalah dengan mereka…
“Yang satunya mana ya?” ujar Patton sambil celingak-celinguk.
Debo menoleh ke arah Patton dan bertanya, “Apa?”
“Anggota BO3 juga…” jawab Patton.
“Masih ada lagi?” ucap Debo agak sedikit terkejut.
Patton mengangguk, “Iya… Dari namanya, Brother On 3. Terdiri dari 3 anak laki-laki.” terang Patton.
Bertepatan dengan itu, pintu kelas terbuka dan masuklah seorang anak laki-laki.
“Itu dia…” tunjuk Patton pada anak tersebut.
DEG! Debo benar-benar terkejut. Sahabat yang selama ini ia rindukan hadir di depan matanya. Namun kali ini yang membuat ia benar-benar merasa terkejut adalah, sahabat yang selama ini ia anggap sangat anti dengan kekerasan, justru bergabung dengan geng semacam itu.
Pergilah gundah, jauhkan resah
Lihat segalanya lebih dekat.. Dan ‘kubisa menilai lebih bijaksana
“Namanya Obiet…” jelas Patton.
Debo diam tak bergeming. Hari pertamanya bersekolah disini, sangat membuatnya shock. Dan ia tak tau, berapa lama ia sanggup bertahan di sekolah ini.
Bu Winda menghela nafas berat saat melihat Obiet masuk, “Obiet… kamu kira ini jam berapa?”
“Maaf…” ucap Obiet lirih.
Bu Winda mencoba untuk meredam emosinya. “Ya udah. Cepat duduk.”
Obiet pun mengangguk dan melangkah ke tempat duduknya. Dan ia tak sadar bahwa ia telah melewati Debo yang sedang diam terpaku.
-
Malam telah larut. Namun, Debo tetap terjaga. Matanya tak pernah lepas dari foto Obiet yang sedari tadi dipegangnya. Ia sungguh tak menyangka jika Obiet telah berubah. Geng berandalan? Mana pernah dulu Obiet berniat bergabung bersama geng seperti itu. Yang Debo tau, Obiet sangat benci dengan kekerasan. Namun, mengapa sekarang justru sebaliknya? Perasaan marah, shock, sedih, kecewa, tak mengerti, bercampur menjadi satu dalam pikirannya.
Kemudian, Debo melayangkan pandangannya ke arah jendela yang tirainya masih tersibak. Ribuan bintang terlihat jelas di langit malam. Debo pun mengucap sesuatu, memohon pada bintang, “Bintang… biarkan aku memahami semua ini…”
Mengapa bintang bersinar, mengapa air mengalir, mengapa dunia berputar
Lihat segalanya lebih dekat, dan ‘kuakan mengerti
--to be continued--
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar