Satu hal yang ada di benak Obiet kali ini hanyalah kata ‘menyesal’. Apa yang ia lakukan saat sosok seseorang yang sangat ia rindukan selama ini, justru babak belur karena perbuatannya? Obiet sungguh menyesal telah menuruti egonya, dengan mempertahankan diri untuk sekolah disini. Namun, ICJHS adalah sekolah impian Obiet sejak dulu! Apa kata orang tuanya jika ia dikeluarkan dari sekolah ini hanya karena Obiet berani menentang Cakka?
“Berani banget tuh anak..” keluh Cakka geram.
Irsyad menepuk pundak Cakka, “Tenang, Bro.. Yang penting, dia udah kita beri pelajaran. Ntar juga kapok sendiri.”
Cakka mendesah, “Tapi ini pertama kalinya gue dipukul, Syad! Nyokap bokap gue aja gag pernah mukul gue! Sedangkan dia?!”
Irsyad melipat tangannya di dada, “Trus? Mau lo?”
Cakka tersenyum penuh kemenangan, “Gue gag mau liat muka dia lagi di sekolah ini..”
Deg!
Obiet tersentak. Ia tau maksud Cakka. Cakka berniat mengeluarkan Debo dari sekolah ini.. “Cak! Maksud lo?”
“Gue bakalan minta bokap gue, supaya dia Get Out dari sini!” jawab Cakka tajam.
“Apa belum cukup lo buat dia babak belur sampai seperti itu?!” bela Obiet mati-matian. Ia tak bisa terima jika Cakka berbuat sekejam itu pada Debo. Bagaimana pun juga Debo adalah sahabatnya.
“Itu gag seberapa, Biet, daripada perbuatan dia yang sok berani itu..” ucap Cakka.
“Tapi Cak.. Apa lo gag punya rasa kasian sedikit pun?” Obiet terus mencoba membela Debo.
Cakka mengerling heran, “Perasaan gue aja.. Atau lo berusaha belain dia?”
Obiet terhenyak.
Irsyad menatap curiga pada Obiet, “Jadi lo lebih belain dia daripada kita, temen lo sendiri?”
Obiet terdiam. Ia merasa tersudut. Ia pun mengalihkan mukanya dari tatapan curiga Cakka dan Irsyad, “Gag.. Gue gag sedang membela siapapun. Gue cuman mau meluruskan aja. Gue rasa, dengan buat dia babak belur seperti tadi, itu sudah cukup! Percaya sama gue, dia gag bakalan berani lagi sama kita!” Obiet bersusah payah merangkai kata. Dengan tujuan, seakan tetap berpihak pada Cakka dan Irsyad, namun juga menjauhkan Debo dari bahaya kekejaman kedua temannya.
Cakka terdiam. Ia merenungi kata-kata yang diucapkan Obiet. Sesaat kemudian, ia pun menyanggupi usul Obiet. Namun dengan syarat, jika Debo berbuat suatu hal lagi yang tak ia sukai, maka ia tak akan segan-segan untuk mengeluarkannya dari sekolah ini.
Aku tak percaya lagi
dengan apa yang kau beri
Tiba-tiba, seseorang menarik kerah baju Obiet. “Kak Iel? Kenapa kak?”
Gabriel menatap Obiet penuh emosi, “Lo masih tanya kenapa?! Lo pikir lo siapa?! Hanya karena lo berkuasa, lo sampai tega biarin Zahra nunggu lo dengan sia-sia?!”
Obiet tersentak. Zahra? Ia baru ingat jika ia mempunyai janji untuk bertemu Zahra kemarin..
Irsyad berusaha menolong Obiet. Ia coba melepaskan cengkraman tangan Gabriel dari kerah Obiet. Namun, Gabriel tak berkutik. Ia tetap mencengkeram kerah baju Obiet.
“Lo keterlaluan! Lo anggap Zahra apa?! hah?! Lo gag mikir keadaan dia gimana?!” seru Gabriel.
Obiet terhenyak. Hari ini, ia sungguh merasa dihantui rasa bersalah. Pada Debo.. Pada Oik.. Juga pada Zahra..
Sementara Gabriel terus melampiaskan seluruh kekecewaannya pada Obiet, Sivia melihat mereka nanar. Entah mengapa hatinya terasa pedih..
-
Debo terus terdiam sementara Ify, petugas UKS, mengobati luka di kedua pipinya. Sesekali, ia mengaduh saat lukanya terasa perih. Ify memeras handuk basah di air hangat. Lalu, mengusapkannya kembali di pipi Debo. “Lain kali, jangan cari masalah lagi dengan mereka..” sarannya.
Debo terdiam.
“Meskipun kamu yang benar dalam masalah ini.. Yang perlu kamu tau, guru-guru gag akan campur tangan.. Gag ada yang bisa menentang mereka..” lanjutnya.
Aku terdampar disini
tersudut menunggu mati
Debo menunduk. Kemudian, ia menjauhkan handuk basah yang dipegang Ify, dari pipinya. “Sudah cukup.” ujarnya lirih.
Ify pun menurut. Ia berhenti mengobati luka Debo. Beberapa detik, ia menatap muka Debo yang masih tertunduk. Ia mengerti bagaimana perasaan Debo. Brothers On 3 memang sangat keterlaluan.. “Uhm.. Kalau kamu merasa udah baikan.. Kamu boleh kembali ke asrama..”
Debo tetap terdiam.
Kemudian, Ify menatap ke arah Patton. “Ton.. Jaga Debo, ya..”
Patton mengangguk.
Ify pun beranjak pergi dari tempat itu.
Saat ini, hanya Patton dan Debo yang berada di dalam ruang UKS. Rahmi, Oik, dan Agni, telah kembali ke asrama. Mereka bertiga merasa sangat bersalah terhadap Debo. Terlebih Oik. Ia merasa telah menjadi biang kerok dalam masalah ini. Rahmi menangis karena tak bisa berbuat apapun untuk menolong teman-temannya. Sementara Agni, berulang kali ia mengeluarkan kata-kata dendam kepada BO3, karena mereka telah membuat Oik menangis, dan Debo babak belur. Debo pun meyakinkan mereka, tak ada yang patut disalahkan dalam masalah ini.
Guru-guru yang dipanggil Patton pun hanya bisa memberi nasihat agar tak mencari masalah lagi dengan Brothers On 3. Mereka meminta maaf karena tak bisa membela anak didiknya tersebut. Debo menerimanya. Meskipun otaknya memprotes, mengapa guru-guru angkat tangan dalam menghadapi anak-anak seperti mereka.
Selama beberapa menit, suasana tetap sunyi. Hanya bunyi ranting-rantingan yang jatuh tertiup angin menerpa kaca jendela UKS. Patton pun tak berani memulai pembicaraan. Ia beranggapan, lebih baik Debo menenangkan pikirannya terlebih dahulu.
“Ton…” panggil Debo pelan. Patton menoleh ke arah Debo yang masih menunduk.
“Apa pendapatmu tentang Obiet?” tanya Debo lirih.
Patton terdiam sesaat. Terbesit sedikit pertanyaan, mengapa Debo hanya menanyakan Obiet? Mengapa tak sekalian Cakka maupun Irsyad? “Uhm.. gag jauh beda sama tanggapan orang lain tentang dia dan geng-nya mungkin.. Egois.. Merasa berkuasa..”
Debo melenguh.
“Tapi.. kalau aku bilang sih, dia yang paling agak mendingan gitu daripada dua anggota BO3 yang lain..” ucap Patton menambahkan.
Debo diam.. Ia merasa sudah waktunya untuk menceritakannya pada orang lain, bahwa Obiet teman masa kecilnya dulu. Ia pun menceritakan semuanya pada Patton, secara mendetail.
Patton tercengang. Sekarang, ia semakin memahami perasaan Debo yang campur aduk saat ini. Bagaimana tidak? Seseorang yang pernah dekat dengan kita, tega berbuat hal sekeji itu pada kita.
Debo terus menunduk. Sekuat mungkin, ia menahan air matanya tak jatuh. “Dia benar-benar berubah..”
-
Debo membaringkan tubuhnya lemah di atas tempat tidur. Dipandangi 3 teman kamarnya sedang asyik melakukan kegiatannya masing-masing. Abner sibuk dengan ponselnya.. entah sedang sms-an dengan siapa. Patton tetap berkutat pada PSP nya. dan Bastian telah tidur pulas sedari tadi..
Tok.. Tok.. Tok..
Debo melirik ke arah jam dindingnya yang telah menunjukkan pukul 9 malam. Patton beranjak bangkit dari posisi awalnya. Debo mencegahnya. Biar ia yang membukakan. Sekalian ia ingin menggerakkan kembali otot-ototnya yang sempat kaku, karena lama berdiam diri.
Ia langkahkan kakinya ke arah pintu, dan memutar kenop. Betapa terkejutnya dia, saat menemukan sosok Obiet di depan pintu. Namun, dengan cepat ia segera memperbaiki raut wajah terkejutnya.
Aku tak percaya lagi
akan guna matahari
“Hai Debo..” sapa Obiet canggung. Sepertinya, ia masih merasa tidak enak pada kejadian tadi siang. Dilihatnya kedua pipi Debo yang lebam. Dalam hati, ia mengutuk dirinya karena telah melakukan hal sekejam itu.
Debo terdiam. Ia alihkan pandangannya dari muka Obiet. Melihat Obiet yang telah berubah total seperti ini, hanya akan membuatnya semakin sakit.
Melihat reaksi Debo yang tak membalas sapaannya, membuatnya semakin gugup. Otaknya berfikir keras harus berkata apa lagi dalam menghadapi Debo yang terlanjur marah padanya. “A-apa kaba..ar?”
“Walaupun gag gue jawab lu juga bisa jawab sendiri kan?” jawab Debo pelan namun tajam.
Obiet semakin merasa bersalah.. Sekali lagi, ia menatap plester yang menempel di pelipis Debo. Ya.. Itu gara-gara aku.. batin Obiet. “Maaf..”
Debo terhenyak. Namun, matanya tetap tertuju pada arah lain. Entah karena apa, ia merasa sulit melihat wajah Obiet kali ini.
“Aku udah benar-benar jahat ya?” ujar Obiet pahit.
Debo tersenyum kecut.
“Aku tau.. Permintaan maaf ini gag sebanding dengan apa yang udah aku lakuin tadi siang.. Tapi.. jika bisa..” ucap Obiet menggantung.
Mau tak mau Debo tergerak untuk menatap wajah Obiet saat ini. Dan detik itu pun juga.. Ia menyadari mata Obiet yang telah basah.
Obiet berusaha mengendalikan emosinya. “Jika bisa.. Tolong maafin aku..”
Debo terdiam. Sesaat kemudian, ia menunduk..
Yang dulu mampu terangi
sudut gelap hati ini
Selama beberapa menit, mereka tak mengeluarkan suara apapun lagi.. Mereka berdebat dengan pikirannya masing-masing.
Hingga Debo membuka suara. “Aku mau tidur..”
Obiet tercengang. Sama sekali tak terpikir olehnya, jika permintaan maafnya harus menggantung seperti ini.
Debo pun mundur selangkah, dan menutup pintu kamarnya tersebut. Lalu, ia melangkah menuju tempat tidurnya.
“Ada apa?” tanya Patton.
Debo tak menghiraukannya. Ia segera menarik selimut hingga menutupi seluruh badannya.
Patton mengangkat bahu saat menangkap kode mata Abner, yang seakan ikut mewakili pertanyaan Patton tadi.
Dan tanpa disadari oleh mereka berdua, Debo menangis tanpa suara di balik selimutnya..
Aku berhenti berharap…
-
Ponsel Oik berdering. Oik segera mengambilnya dan melihat nama seseorang di layar ponselnya.
Obiet is calling ..
Dengan ragu, ia mengangkatnya..
“Oik.. aku minta maaf soal yang tadi..” ucap Obiet.
Oik menghela nafas pelan, kemudian menjawabnya, “Aku mau maafin kakak, kalau kakak keluar dari BO3!”
“Tapi..”
“Tapi apa?!” potong Oik.
Obiet tersudut. Ia merasa dihadapkan oleh dua pilihan yang sangat sulit. “Aku gag bisa, Ik.”
Tentu saja Oik kecewa dengan jawaban Obiet tersebut. “Kenapa gag bisa?”
“Karena…”
“Karena kakak gag mau keluar dari sekolah ini?” potong Oik.
Obiet terdiam. Dalam hati, ia mengangguk. Memang itulah alasan mengapa ia tak berani menentang Cakka. Cakka anak dari pemilik sekolah ini. Dan ia mampu melakukan apa saja, jika ada seseorang yang berani menentangnya. Termasuk mengeluarkan seseorang dari sekolah ini.
“Itu tandanya.. Kakak cuma mau menuruti ego kakak aja.. Kakak gag pernah mikirin orang lain yang sakit hati gara-gara ego kakak.” ujar Oik tajam.
Obiet terhenyak.
“Pokoknya aku gag bakal maafin kakak, sebelum kakak keluar dari BO3!” ancam Oik seraya memutuskan hubungan teleponnya dengan Obiet.
“Obiet?” tanya Rahmi sembari menutup buku pelajaran yang tadi dibacanya.
Oik mengangguk. Ia pun menyandarkan tubuhnya di tepi tempat tidur. “Aku gag tau harus nglakuin gimana lagi, supaya dia keluar dari BO3..”
“Sepertinya memang susah ngebuat dia keluar dari BO3.. Yach.. secara, lo tau sendiri kan, sekolah ini berarti banget buat dia. Dan kalau dia keluar dari BO3, itu sama aja, dia ngebuang semua yang udah dia dapetin saat ini.” sahut Agni yang disambut dengan helaan nafas Oik.
-
“Ngapain sih lo pake acara minta maaf segala sama Oik?” tanya Irsyad heran.
Obiet tak menyahut pertanyaan Irsyad. Ia amat sangat gelisah saat ini. Permintaan maafnya pada Debo dan Oik, tak diterima. Ia tak tau lagi harus berbuat apa, supaya mereka bisa memaafkannya. Tiba-tiba, ia teringat pada satu orang. Ya… Zahra. Kemarin, Obiet sempat lupa bahwa ia ada janji untuk bertemu Zahra.
Obiet pun meraih ponselnya kembali, dan mencari nomor Zahra di phone book ponselnya. Kemudian, ia menekan tombol call.
“Halo..” sapa seseorang di seberang.
“Zahra.. Aku minta maaf..”
--to be continued--
Apakah Zahra akan memaafkan Obiet?
Apa sebenarnya hubungan antara Oik dan Obiet?
Dan..
apa yang akan terjadi pada persahabatan Debo dan Obiet selanjutnya?
nantikan di
FRIENDSHIP NEVER END chapter 5 ..
*domo arigatou*
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar