Selasa, 29 Juni 2010

FANFICT_MIMPI SANG BINTANG-PART 13 : KAMAR GADIS

LANJUTAN DARI FANFICT_MIMPI SANG BINTANG-PART 12 : THE BEGINNING

PART 13 : KAMAR GADIS


Oik merapikan bawaannya dengan diam, bibirnya terkatup rapat.
Kamar asrama Oik hening. Padahal ada tiga orang disana, namun mereka seolah sibuk dengan aktivitas masing-masing.
Tak ada berani memulai, mungkin malu, canggung atau entahlah. Yang pasti, suasana kamar itu terasa tidak nyaman.

Pintu kamar sengaja terbuka. Hingga akhirnya, muncul seorang anak berambut panjang berponi, memakai bando warna pink.
Kesulitan membawa barang cukup banyak di atas troli, di antar oleh pemandu yang bertubuh tinggi.

“Oke. Zahra, ini kamar kamu. Tuh udah ada temen-temen kamu. Aku pergi dulu ya.” Suaranya agak nge-bass. Zahra mengusap peluh di pelipis.
“Makasi ya, Kak.” Ucapnya, terengah.

Seperti yang sudah ditebak Debo, Zahra berhasil masuk Gema Bhakti melalui jalur ujian masuk pusat.
Di dukung dengan beberapa piagam dan sertifikat mempermudah langkahnya, Zahra memang berprestasi.
Bahkan, nilai ujian dia termasuk lima tertinggi. Zahra mengatakan itu adalah “Debo’s spirit”.

Zahra menghela nafas lalu masuk. Memandang orang-orang yang sudah datang, melempar senyum. Namun, tak ada yang menyambut hangat kedatangannya.
“Assalamu’alaikum, semua. Haii, aku Zahra..” Sapa Zahra, mencabik kesunyian.
Oik menoleh dan mengangguk. Cewek manis berambut pendek menjawab walau pelan. Satu cewe lagi menjawab walau tidak lengkap.
Zahra mengerenyitkan dahi, bingung dengan situasi arogan ini.

Zahra menaruh koper-kopernya ke dalam. Lalu celingukan, tengok kanan kiri.
“Haduhh capeeekkkk. Kalian udah dari tadi ya?” Zahra mulai mencari bahan obrolan. Walau, Zahra agak aneh sendiri karena semua hanya menggangguk.
“Tempat kosong buatku mana nih?” Tanyanya. Dia terus mencari celah agar teman barunya terpancing untuk berbincang dan memulai perkenalan.

Oik menunjuk ke atas. Zahra angguk-angguk. Menyanyi-nyanyi, membongkar koper. Mengeraskan suaranya. Oik mengerling dengan sudut mata, agak jutek. Zahra nge-gap, Oik memalingkan wajah. Zahra nyengir.

“Bajuku taro dimana, ya? Barang-barang lainnya dimana?” Zahra jadi heboh sendiri.
Cewek agak tomboy yang memakai kalung dengan liontin kotak, pasti di dalamnya dapat menyimpan semacam foto, seperti hendak berbicara tapi urung.
Oik berdeham. Dia tampaknya tidak tahan terus membisu, karena aslinya dia cukup bawel.

“Hai, Zahra. Aku Oik. Kami bertiga agak bingung harus gimana, kamu punya saran?” Suara Oik agak nyaring. Zahra tak bisa menahan senyumnya, memamerkan behel. Oik memandangnya tak berkesip, dengan muka berharap.
Rupanya aksi buka mulut Oik memicu anak lainnya berbicara. Speak up, speak up. Batin Zahra. Cewek tomboy beringsut mendekati Zahra.

“Aku Agni. Haii. Aku rasa kita harus rombak tempat ini, supaya lebih teratur dan mudah kalau butuh. Aku tadi udah mikirin, tapi aku liat denah kamar ini agak kacau dan janggal.”
“Setuju.” Seru Zahra ceria. “Oia, nama kamu siapa, kok diem aja sii?”
“A-aku. Sivia. Via.”

Oik tersenyum melihat teman barunya yang pemalu. Sivia menunduk dalam, menggigit bibirnya. Zahra melipat tangan di dada.
“Ada saran ga , Si-vi, eh, Via?” Tanya Zahra. Dia menebak, bahwa Sivia menyimpan banyak hal, karena matanya tampak berpikir.
“Umm..” Sivia mengangkat wajah dan mengedarkan pandangan.
“Mungkin rak rotan itu buat alat solat atau bagaimana. Alqu’ran dan buku-buku pelajaran.”
“Gimana kalau yang seperti itu di taro di lemari aja? Supaya kita lebih tanggung jawab. Tidak saling meminjam milik orang lain.” Timpal Agni.
Zahra menggaruk kepala, bingung. Oik berjalan mondar mandir. Matanya beredar ke setiap sudut.

“Kalau kata aku sih. Itu kan rak handuk, buat tempat handuk. Rak rotan itu cocoknya buat peralatan mandi atau mungkin peralatan makan. Kalau alat solat, kita kan solat di mesjid. Jadi enaknya taro di lemari aja. Buku-buku di atas lemari.” Ujarnya mantap.
Sivia berkerut, tapi diam saja. Agni menimbang saran Oik.

“Lihat deh, kita semua pasti membawa perlengkapan hampir sama, sesuai data dari sekolah.” Kata Oik sambil membaca kertas yang berisi benda yang dibawa.
Zahra menepuk jidatnya, karena lupa, dan kebetulan dia tidak mengikuti daftar tersebut.

“Aku sih pengennya di atas meja itu ada tissue.” Ucap Sivia. Oik hampir saja buncah ketawa, tapi berhasil dia tahan, dan pura-pura batuk. Tak ada yang salah dengan tissue di atas meja, tapi sepertinya tidak terlalu, yah, seperti itulah.

“Yang pasti ini tempat ngaca, aku gak akan bisa menatap dunia kalau pergi tanpa ngaca terlebih dahulu.” Kata Zahra duduk depan meja dengan cermin besar didepannya.
Dia malah bermain mimik, centil-centilan. Happy karena cerminnya besar.

“Ya iyalah. Terus kayak make up atau perlengkapan kecantikan gitu, taro disana jangan?” sahut Oik. Sambil menunjuk meja dibawah cermin.
“Emangnya entar gak akan di razia ya? Aku gak bawa make up.” Zahra menggigit jari. Oik agak malu.
“Maksud aku kayak bedak, cologne, parfum, sisir.” Jelasnya.
“Itu sih di lemari masing-masing aja. Takutnya ada masalah karena kita pakai peralatan kecantikan punya orang lain.” Ucap Agni, kayaknya Agni jago-nya private.
Dia seperti berhati-hati dengan barangnya, itu kesan yang ditangkap Oik dan Zahra.

“Lalu laci di meja itu buat apa?” Sivia seperti sudah lama ingin bertanya.
“Kata pemandu, meja panjang untuk belajar.” Oik mengetuk meja itu. sivia mengangguk.
“Berarti buku-buku disini aja, deh.” Kata Zahra sambil melongok rak di bawah meja. ”Pas, nih, ada empat!”
“Aku bawa karpet. Agak besar. Gimana kalo aku gelar di tengah. “ Kata Sivia, mulai berani bersuara agak keras. Dia menunjuk ruangan kosong antara dua ranjang.

“Wah, asik. Kita bisa ngobrol, ngegosip atau makan disitu nantinya.” Zahra semakin senang karena suasana lebih menghangat, dan semua mulai menunjukkan karakter masing-masing.

“Hei, knock knock knock. Kita kan gak bole makan di kamar. Harus di dining room.” Oik mengingatkan.
“Oh iya, ngemil mah sah sah aja atuhlah.”
“Jadi gimana nih?” Agni tampak jengkel.
Dia paling tidak suka berlama-lama membahas hal yang bisa diselesaikan dengan mudah. Dia memang kadang lebih suka one man show.
Tapi, dia ingin menghargai teman barunya, bertahan dalam diskusi.

“Gak tahu, aku bingung. Entar deh aku mau tanya sama temenku soal penataan ruang, dia masuk GB juga, kali aja dia udah nata kamar dengan rapi, teratur, dan sesuai baik segi yinyang-fengshui, interior, dan lain-lainnya.”
Zahra bersungut. Dia teringat Debo. Pasti sudah datang, dan Zahra ingin cepat menemuinya, namun belum ada alasan.
Jadi denah ruang kamar bisa jadi tema awal.

“Oh iya, di kamar mana? Ajak main dong kesini.” Seru Agni. Dia belum bertemu banyak orang.
“Dia mah cowok, ya di asrama cowok.”
“Kita kan gak bole ke asrama cowok tanpa izin yang bener-bener logis.” Ucap Sivia.
Pengalaman tadi saat dia tidak mau ditinggalkan sendiri mencari kamarnya, karena pemandunya cowok, enggan mengantar hingga kamar.

“Nanti kalo makan malam sekarang kan kita kumpul. Nanti aku ajak dia ngobrol di lobby, deh. “ Niat Zahra, semangat.
Agni membaca jadwal, dan tersadar kalau malam ini ada dinner bareng.

“Umm. Aku juga mau tanya temenku juga deh.”
“Cowo juga, ya?” Tebak Zahra.
“Iya, namanya Patton. Tapi aku gak tahu, sempet atau gak nanya ke dia. Takutnya dia geer aku tanya-tanya, merasa dibutuhkan.”
“Memangnya kenapa, katanya teman?” Sivia terheran.
“Gapapaaaa.” Jawab Oik. Geram.

Dia tadinya berniat musuhan dengan Patton.
Karena, Patton tidak mengindahkan ancamannya untuk merahasiakan tragedy jatuhnya Oik di teras pada Mama.
Namun, dengan lugu dibuat-buat, Patton santai berkata ‘Tante, jangan ngebut-ngebut, kayaknya kita harus parkir dulu di tempat makan, tadi Oik jatuh, keraaasss banget, aku pikir rahangnya retak, untung nggak.
Tapi, takutnya dia kehilangan sistem imun dan ion tubuh, ya, untuk memperbaiki vitalitas aja!’

Spontan, Mama Oik heboh dan bertanya macam-macam, nyaris singgah ke klinik untuk diperiksa dulu, tapi Oik menolak mati-matian, dan terpaksa bilang hanya lapar.
Patton kegirangan, dan ternyata dia yang paling gembul menghabiskan satu porsi paket komplit nasi timbel, dan bahkan menculik ayam bakar Oik.
Itu menyebalkan banget. Oik ingin menguliti Patton saat itu, apalagi Patton malah cengengesan ketawa ketiwi gak jelas.
Tambah dongkol, saat Mama Oik memuji dia ‘Lihat tuh sayang, Patton jago makan, supaya sehat. Gak seperti kamu, ogah-ogahan.’ Dan tambah bikin Oik sewot, Patton menimpali ‘Ah, gak, kok, tante. Aku cuma mensyukuri nikmat Tuhan aja’. Tengiiiillllllll banget!!!


“Memangnya ada kumpul makan malam ya?” Sivia bertanya dengan polosnya. Oik berlagak pingsan.
“Heii, knock knock knock. Masa gak tau, ni ada di jadwal!”
“Berarti aku harus cepat mandi donk!!” Sivia langsung cemas. Dia kan kalau mandi minimal sejam, jadi harus ambil ancang-ancang lebih awal.
“Yuk. Dimana sih?” Agni mengambil handuknya berwarna hijau dari atas rak handuk.
“Tuh di ujung lorong ini, kan ada ruangan, masuk, ada dapur, nah disitu ada kamar mandi.” Terang Zahra disela kegiatan membereskan pakaiannya.
“Wah harus cepat-cepat nih kayaknya. Nanti bisa berebutan!!” Sivia makin tak sabar. Dia menyanggul rambutnya yang panjang memakai karet rambut.

“Kamar mandinya banyak kok. Ada sepuluh.” Ucap Oik. Dia masih kepikiran Patton, dan berencana melakukan balas dendam.
“Serem gak?” Sivia berjengit, lucu. Agni terbatuk, ingin ketawa.
“Dikit..” Zahra iseng. Padahal dia sendiri belum lihat.
“Duh takuttt..”
“Becanda kok. Yah aku sendiri gak tau. Kan belom liat.”
“Bareng yuk?”
“Yuk. Aku juga dari tadi pengen pipis. Moga aja sanitasinya gak buruk. Aku benci kalo kamar mandi bau plus jijik. Aku kan pecinta kebersihan, everything’s must steril, higinis dan wangiii.” Ujar Oik, berdeklamasi. Zahra mendesih.
“Makanya ada jadwal bersihkan kamar mandi. Kalau pengen bersih harus dijaga bersama kan?” Ucap Agni sambil berjalan keluar, Sivia membuntuti, tangannya menggerak-gerakan ember kecil berisi peralatan mandi.

___________________________________________________________________________________
LANJUT KE FANFICT_MIMPI SANG BINTANG-PART 14 : BATTLE CHOIR

Tidak ada komentar:

Posting Komentar