Selasa, 29 Juni 2010

FANFICT_MIMPI SANG BINTANG-PART 9 : SELIMUT BAHAGIA

LANJUTAN DARI FANFICT_MIMPI SANG BINTANG-PART 8 : NAMAKU CAKKA

PART 9 : SELIMUT BAHAGIA


Debo sedang mencuci piring di kamar mandi yang berada di luar, halaman belakang rumah.
Dia berhasil meredam kecewa-nya, dan berencana mengikuti saran Mang Adi untuk sekolah di kota.
Mang Adi sudah meminta temannya membantu mengurus.
Nenek datang dari dalam rumah, jongkok. Mau membantu Debo.

“Teu kedah, Nek, wios ku Dede (Ga usah, Nek. Biar Debo aja).” Tolak Debo, dia seperti terlalu serius dengan kegiatannya.

Nenek memperhatikan Debo, nafasnya agak tersenggal.
Sudah beberapa hari, Debo sering diam, dan berbicara sekenanya.
Beberapa hari lalu, dia didatangi Zahra, anak tetangganya yang baru saja pindah.
Tadinya, Nenek kira, Zahra hanya pamit.
Tapi, gadis kecil itu menyampaikan hal yang membuat hatinya teriris. Zahra bahkan menangis.
Nenek sangat ingat satu kalimat Zahra yang menampar egoisnya.

“Ibaratnya gini, Nek. Debo memiliki sayap yang siap membawanya terbang meraih konstelasi gugusan bintang paling cemerlang. Namun, kakinya di rantai menembus bumi. Dia sebenarnya bisa melepaskan diri. Tapi, Debo memilih menatap mimpinya hingga akhirnya sayapnya terkulai patah.”

Nenek berusaha menerjemahkan kalimat itu.
Beliau bertanya pada anaknya, Mang Adi. Dan, Mang Adi menjelaskan penuh khidmat dan tertata.

Nenek menangis, karena sudah menjadi batu penghalang bagi cita-cita Debo.
Beliau tidak tahu, karena Debo diam saja.
Namun, Mang Adi menghiburnya, bahwa tidak terlambat untuk mengubah semua.
Debo masih bisa melesat terbang, jika nenek mau membuka rantai itu.
Nenek tersugesti, dan dia merenung lama untuk mengubah keputusannya yang sudah bulat.
Nenek juga tidak tahan melihat cucu-nya seperti terbalut sedih dan kecewa yang seperti tak akan hilang.
Debo sama seperti Ibu-nya memiliki keinginan kuat, namun kadang mereka tak bisa menyampaikan isi hatinya.
Mereka pun mulai bercakap dalam bahasa Sunda.

“De. Teu betah sanes sareung Nenek. Nenek pernah ngacewakeun Dede, nya, nepika hideup hoyong pisah ti Nenek (De. Ga betah ya sama Nenek? Nenek pernah ngecewain kamu, sampai kamu mau pisah ma Nenek?)” Nenek berkata sedih.

Debo kaget dengan pertanyaan Nenek. Sungguh, dia tak pernah terbersit seperti itu. Debo mencuci tangannya dari busa sabun.

“Ya Allah, Nek. Naha nepi kapikiran siga kitu? Demi Allah, Dede bahagia sareung Nenek jeung Mang Adi didieu. Leureus, emang Dede gaduh cita-cita.. Alhamdulillah Dede berhasil katarima sakola di GB. Eta salah sahiji ti cita cita Dede, disamping cita-cita nu sanes. Tapi, teu aya niat sedikitpun oge, jang ninggalkeun Nenek. (Ya Allah, Nek. Kok sampe pikiran kayak gitu? Demi Allah, Dede bahagia ma Nenek dan Mang Adi disini. Memang, Dede punya cita-cita. Alhamdulillah Dede berhasil keterima sekolah di GB. Itu bagian dari cita-cita Dede, disamping cita-cita Dede yg lain. Tapi, gak ada niat sedikitpun untuk meninggalkan Nenek).”

Nenek menangis tanpa suara, getir. Matanya yang kecil mengucurkan airmata yg membuat Debo terdiam, merasa bersalah. Debo menunduk dalam.

“Lamun Dede mangkat. Engke Nenek tiiseun atuh (Kalau Dede pergi. Nanti nenek kesepian).” Nenek merajuk.

Semenjak Kakek meninggal, dan Ibu Debo yang merupakan anak pertama Nenek bercerai dengan Ayah Debo, lalu pergi ke Malaysia menjadi TKW.
Nenek kadang menjadi posesif dan agak keras.
Debo menduga, sepertinya Mang Adi sudah menceritakan pada Nenek, menjelaskan dengan baik dan telaten.

“Debo moal hilap ka Nenek, lamun Nenek teu aya, Dede moal mungkin bisa ngaraih semuanya. Sing sakola di Bandung oge, Debo masih keneh tiasa uih. Nenek oge tiasa dongkap nganjang kaditu upami Nenek sono. Nenek tiasa nelepon. Nenek.. (Debo ga akan lupa sama Nenek, tanpa Nenek, Dede juga gak akan meraih semuanya. Kalau sekolah di Bandung juga, Debo masih bisa pulang. Nenek bisa berkunjung kesana sewaktu Nenek kangen. Nenek bisa telpon. Nenek.)”

Nenek memeluk tubuh Debo yang agak kurus. Kaki Debo menyenggol piring cucian. Dia seperti kesulitan mengambil nafas karena begitu kuat pelukannya Nenek.

“Heug, Nenek ngagaekeun hideup. Debo gae sakola asrama di Bandung. Nenek ikhlas. Nenek satuju, Cu. Nenek ridho, InsyaAllah, De (Nenek bolehin kamu. Debo boleh sekolah asrama di Bandung. Nenek ikhlas. Nenek setuju, Cu. Nenek, ridho, InsyaAllah, De..)” Terbata Nenek berbicara.

Debo menutup mulutnya, menahan kebahagiaan dan kesedihan yg bercampur. Dia memeluk Nenek lebih erat.

“Makasih, Nek. Hatur Nuhun. Alhamdulillah ya Allah..” Debo berwirid hamdalah ratusan kali dalam selimut bahagia yang begitu membara.
Tadinya, dia anggap sudah kehilangan harapan.
Ternyata, dia masih memiliki kesempatan itu.

__________________________________________________________________________________
LANJUT KE FANFICT_MIMPI SANG BINTANG-PART 10 : TERPERCIK KASIH

Tidak ada komentar:

Posting Komentar