Kamis, 03 Juni 2010

FRIENDSHIP NEVER END [MUSICAL ADV] --> Chapter 6 : Kusesali untuk Dirimu

Semua anak menunggu di ruang tunggu rumah sakit dengan gelisah bercampur cemas. Obiet terdiam. Matanya sudah terlalu bengkak untuk terus menangis. Diliriknya jam tangan biru langitnya. ‘3 jam…’ pikirnya. Sudah 3 jam berlalu, namun dokter sama sekali belum menampakkan batang hidungnya sejak masuk dari ruangan UGD. Ia begitu tak sabar menanti penjelasan dokter mengenai keadaan Debo saat ini. Kemudian, pandangannya beralih ke arah Cakka yang sedari tadi menunduk. Di sampingnya, tampak ayah Cakka yang tak henti-henti menegurnya.

Hingga beberapa saat kemudian, penantian mereka pun berakhir. Pintu ruang UGD terbuka, dan seorang dokter keluar dari ruangan tersebut. Obiet beserta anak-anak yang lain segera menghampiri dokter tersebut dan menanyakan keadaan Debo. Dokter itu menarik nafas pelan. Tampak keraguan dalam raut wajahnya. Dokter itu pun meminta seseorang untuk menemuinya di ruangannya. Ia mengatakan jika ada satu hal penting yang harus ia katakan. Setelah itu, Ia pun memperbolehkan beberapa orang untuk masuk menemui Debo, sebelum dirinya berlalu bersama ayah Cakka.

Obiet dan yang lain masuk ke dalam ruangan Debo. Dan di ruangan itu tampak seorang Debo sedang duduk terpaku menatap kosong pada kakinya. “Kakiku kenapa?” ucapnya lirih, namun semua orang yang ada di tempat itu masih dapat mendengarnya. Obiet menutup mulutnya, tak percaya. Cakka tercengang. Semua anak yang ada di tempat itu, diam terpaku.

“Kenapa gag bisa digerakin?” Air mata Debo mulai menetes satu persatu. “KENAPA?! KENAPAA?!” Debo pun mulai berontak. Ia memukul kakinya berkali-kali. Perawat-perawat akhirnya turun tangan. Mereka menyuntikkan obat penenang pada Debo. Sesaat, Debo mulai tenang. Dan setelah itu, matanya menutup.

Perawat menyuruh Obiet dkk untuk membiarkan Debo istirahat. Dengan langkah gontai, serta perasaan kacau, mereka pun keluar dari ruang UGD.

“Debo…… lumpuh?” ucap Patton pelan. Shock…

Obiet terhenyak. Seketika, secuil kejadian saat Debo tertabrak mobil terputar kembali dalam otaknya. Ia pun menoleh ke arah Cakka dan menatapnya tajam. Perlahan, ia beringsut dari tempatnya berdiri, dan melangkah menghampiri Cakka. Dalam hitungan detik, Obiet telah berada di hadapan Cakka. “Ini semua gara-gara lo!” Cakka tak berkutik. Ia sama sekali tak melakukan perlawanan sedikit pun terhadap sikap Obiet kali ini.

Agni pun mencoba melerai mereka berdua. Bagaimana pun juga mereka sedang berada di rumah sakit. Tidak sopan bila mereka membuat keributan di tempat ini.

Cakka terus menunduk, namun sejurus kemudian ia mengangkat wajahnya─memperlihatkan wajah sendunya. Obiet terdiam. Ia berdebat dalam pikirannya. Ia sadar, jika Cakka merasa bersalah atas semua kejadian ini. Namun, terlambat. Rasa bersalahnya tak akan bisa mengembalikan kaki Debo.

“Mulai detik ini, gue keluar dari ‘Brothers on 3’.” ucap Obiet tegas dengan penekanan di kata terakhir.

Cakka melenguh. Irsyad mengangkat wajahnya, terkejut, menatap Obiet. Begitu pula dengan Oik. “Biet, lo serius?” tanya Irsyad seraya melangkah mendekati Obiet.

“Aku benci hidup dalam bayang-bayang kalian… Aku ingin jadi diri sendiri.” ucapnya perlahan.

Itu tandanya.. Kakak cuma mau menuruti ego kakak aja.. Kakak gag pernah mikirin orang lain yang sakit hati gara-gara ego kakak!

Perkataan Oik tempo hari terngiang kembali dalam benak Obiet. “Aku selalu menuruti egoku, tanpa pernah mikirin orang lain yang sakit hati gara-gara ini…”

Oik terhenyak. Namun, seketika ia tersenyum lembut. Obiet telah kembali…

“Selama ini… aku takut. Jika aku keluar dari geng ini, aku bakalan di-DO! Gimana pun juga, aku gag ingin itu terjadi. Sekolah ini merupakan salah satu impianku. Tapi sekarang aku menyadari satu hal. Bahwa persahabatan lebih dari apa pun. Persahabatan gag akan pernah bisa ditukar dengan apa pun, termasuk dengan sekolah ini.” ujar Obiet.

----------------------------------------------------------------

Sudah kuakui kesalahan yang pernah kubuka saat itu
Setulus hatiku kepadamu.

-----------------------------------------------------------------

Cakka dan Irsyad terdiam.

Obiet menarik nafas perlahan, kemudian menatap Cakka tajam. “Dan detik ini juga, gue siap untuk angkat kaki dari ICJHS.”

Cakka tercengang. Ia terus terdiam dan menunduk, tanpa mengeluarkan sepatah kata apa pun. Hingga tiba-tiba, ia mendengar suara erangan Obiet. Ia mengangkat wajahnya dan mendapati Obiet mengerang kesakitan sembari memegang kuat perutnya. “Biet…?”

-

Debo membuka matanya perlahan. Sinar matahari yang menembus jendela, membuatnya menyipitkan mata. Kemudian, ia bangkit dari baringannya. “Debo…? Kamu udah bangun?” Debo menoleh ke arah sumber suara. Gabriel mendekat ke arah tempat tidur Debo.

“Aku sudah telepon tante nur. Mungkin nanti malam dia sudah sampai disini…” ucapnya kemudian.

Debo tersenyum tipis. “Apa mama tau tentang kakiku?”

Gabriel terdiam. Ia menatap Debo, prihatin. “Aku belum memberitahunya. Lebih baik, kamu yang memberitahunya sendiri.”

kreeek…

Pintu ruang perawatan Debo terbuka, dan muncullah seorang gadis berambut panjang dengan keranjang buah di tangannya. “Sivia? Lo datang?” Gabriel tersenyum lebar melihat kehadiran gadis itu.

Sivia tertawa renyah, “Bukannya lo yang maksa gue untuk kesini?” kemudian, ia menaruh keranjang buahnya di atas meja. Lalu mendekat ke arah tempat tidur Debo, “Hai Debo… Udah agak baikan, kan?”

Debo tersenyum tipis dan mengangguk pelan.

-------------------------------------

Kusesali lagi diri ini
yang tidak pantas untuk hidup.

-------------------------------------

Sivia menarik nafas pelan. Ia sudah mendengar mengenai kondisi Debo saat ini dari Gabriel. “Aku tau ini berat… Cobalah untuk tetap semangat.”

Gabriel menatap Sivia dalam diam. Perlahan, ia menarik bibirnya─tersenyum. Senyum yang lain dari biasanya. Senyum yang penuh kekaguman…

“Kenapa lo nglihatin gue?” protes Sivia saat menyadari gelagat aneh Gabriel. Gabriel tersadar. Seketika, ia tak bisa menyembunyikan kesaltingan-nya.

“mm… gu..gue mau cari perawat dulu.. mm… itu.. makanan buat Debo dari tadi belum diantar.” Tanpa pikir panjang, Gabriel langsung beranjak dari tempat itu, meninggalkan Debo yang tersenyum geli dan Sivia yang masih terbengong-bengong.

“Aku rasa… Kak Iel suka deh sama kak Via.” celutuk Debo. Ia mulai rileks. Sekuat mungkin, ia mencoba melupakan masalah kakinya. Tanpa diduga, pipi Sivia memerah. Ia mencoba mengelak. Namun, Debo tetap tertawa geli saat pipi Sivia semakin merona.

Ponsel Sivia berdering. Ia pun mengangkatnya dan menjauh dari Debo selama ia berbincang dengan orang di seberang telepon. Lalu, ia kembali ke tempat tidur Debo setelah memutus sambungan teleponnya dengan orang tersebut. “…kak Zahra. Dia tanya keadaanmu.” ucapnya pada Debo.

“Bicara mengenai Zahra, aku jadi ingat sesuatu…” Sivia terdiam sejenak─memperbaiki raut wajahnya yang mulai memerah kembali. “Setelah cerita masalahku dengan kak Zahra ke kamu, gag tau mengapa, sikap Gabriel berubah. Ia menjadi lebih perhatian padaku.”

Debo berdeham, dan tertawa geli. “Cieee…”

Sivia pun mencoba mengalihkan pembicaraan, “Hubunganku sama kak Zahra juga semakin baik. Bahkan, kak Zahra gag jadi operasi mata buat nungguin aku.”

“Operasi mata, kak?”

“Iya… Saat itu, aku kena thypus. Dan harus diopname selama beberapa hari. Bertepatan dengan itu, sebuah rumah sakit dari Singapore mengabarkan kalau ada donor kornea mata disana. Padahal, aku sudah maksa kak Zahra buat cepat-cepat kesana. Tapi kak Zahra tetap keuhkeuh buat nungguin aku.”

Debo mangut-mangut. Ia memperhatikannya dengan seksama.

“Dan… aku sadar, itu merupakan bentuk kasih sayang kak Zahra buat aku. Dia rela buat ngorbanin impiannya, demi aku. Semenjak itu, aku bersusah payah buat ngilangin rasa iriku padanya. Kau tau? Karena aku ingat semua nasihatmu saat itu. Terima kasih ya…” ucap Sivia tulus.

Debo tersenyum. “Sama-sama, kak.”

-

Sudah beberapa hari, Debo terbaring di rumah sakit. Dan ia merasa jenuh. Ia rindu saat-saat menyenangkan bersama teman-temannya. Memang, setiap hari teman-temannya menyempatkan diri datang ke rumah sakit, demi menengoknya. Namun bagi Debo, itu semua terasa berbeda…

Debo tersadar dalam lamunannya saat pintu ruang perawatannya terbuka. Empat orang anak laki-laki, masuk ke dalam. “Siang tante…” sapa mereka.

Mama Nurhalimah yang sedang membaca majalah di sofa, bangkit dan balik menyapa keempat anak tersebut, “…mau nengok Debo yaa?” Mereka serentak mengangguk. Mama Nurhalimah pun mengiyakan dan meminta ijin untuk keluar sebentar.

“Hai, Debo…” sapa Cakka. Debo tersenyum. Cakka yang sekarang sungguh berbeda dengan yang dulu. Ia berubah seratus delapan puluh derajat. Dan kini, hubungannya dengan Cakka pun mulai membaik.

“Debo. Mushroom band lolos audisi!” seru Patton. Debo terhenyak. “Aku ikut senang…” ucapnya sembari tersenyum pahit.

Patton kecewa melihat respon Debo. Padahal, saat ia diberitahu bahwa Mushroom band menang, ia begitu gembira. Bahkan tanpa sadar mempermalukan dirinya sendiri─di hadapan seluruh penjuru sekolah, saat ia melompat-lompat dengan girangnya di koridor sekolah. “Tapi, kamu kelihatan gag senang?” protes Abner.

“Sekarang aku lumpuh…” jawab Debo pelan.

“Lantas? Apa orang lumpuh gag berhak untuk nge-band?” ucap Cakka tajam.

Debo terhenyak. Kemudian, sedetik kemudian, ia tersenyum lebar. “Baiklah… Tunggu aku di duel BO3, Cak.”

Cakka melenguh. Irsyad terdiam. “Brother On 3 sudah gag ada lagi.” ucap Irsyad sedih. Debo mengerutkan keningnya─bingung. Irsyad pun menceritakan kejadian saat Obiet memutuskan keluar dari Brothers On 3.

Debo tercengang. Ia kembali teringat pada Obiet. Semenjak kejadian di pesta ulang tahun Cakka, ia sama sekali belum bertemu Obiet. “Lalu… Sekarang Obiet dimana?”

Hening.

Cakka, Irsyad, Patton, dan Abner tak mengeluarkan satu suara pun untuk menjawabnya. Debo hanya terdiam, menyimpan rasa penasarannya dalam hati.

-------------------------------------

Tapi apa yang kuterima
kau hancurkan penyesalan itu

--------------------------------------


--to be continued--


Apa yang dokter jelaskan kepada ayah Cakka?
Apa yang terjadi pada Obiet?

nantikan di…
FRIENDSHIP NEVER END chapter 7

*domo arigatou*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar