Selasa, 29 Juni 2010

FANFICT_MIMPI SANG BINTANG-PART 10 : TERPERCIK KASIH

LANJUTAN DARI FANFICT_MIMPI SANG BINTANG-PART 9 : SELIMUT BAHAGIA

PART 10 : TERPERCIK KASIH


Debo dan Mang Adi sedang menemani Bu Elis dan Bu Lastri ke rumah Irsyad.
Berusaha menjelaskan dengan perlahan supaya Orangtua Irsyad tidak menahan beasiswa Irsyad. Kesempatan dan peluang sangat mahal.
Dan kesempatan Irsyad mendapat beasiswa bersekolah di Gema Bhakti, benar-benar berharga.
Meski waktu bersama keluarga juga jauh lebih berharga. Namun, poin disini beda.

Irsyad dan Arsyad menunggu di kamar, sejak Debo mengatakan akan menerima beasiswa itu, Irsyad sangat ambisius nyaris ngotot pada Gema Bhakti.
Di sampingnya, Arsyad yang diam dengan wajah keras, seperti menahan diri untuk berbicara.
Irsyad menepuk pundak Arsyad.

“Bang.” Panggil Irsyad. Arsyad acuh. Dia bergeser.
“Jan lah bantuak tu Bang. Abang kan tahu kalo awak nio bana sekolah di GB. Dulu, kato abang ndak mungkin. Tapi, kironyo wak bisa mambaliakan yang ndak mungkin tu. (Bang jangan begitu lah, Bang. Abang kan tahu aku pengen banget sekolah di GB. Dulu, abang bilang itu ga mungkin. Tapi, ternyata aku bisa membalikkan ketidakmungkinan itu.)” Terang Irsyad.
Dia memang sempat mengajak Arsyad ikutan seleksi beasiswa. Tapi, Arsyad menolak.
Mungkin, Abangnya Irsyad tidak tertarik karena belum lihat sendiri bagaimana Gema Bhakti.
Arsyad diam saja.

“Mambana wak Bang, jan lah bantuak tu. (Aku mohon jangan gitu, Bang.)” Irsyad ingin menangis karena kesal dengan Arsyad yang sudah berhari-hari tidak mau berbicara dengannya. Arsyad cuek dan menganggap Irsyad gak ada. Itu menyakitkan.

Irsyad seperti pilek. Dan menggosok matanya yang perih. Arsyad mengerling dengan wajah sendu.
Arsyad turun dari kasur lalu mengobrak abrik lemarinya. Dia membawa sebuah benda yang terbungkus rapi kertas kado.

“Ko ha! (Buatmu!)” Katanya sambil menyodorkan kado itu. Irsyad bingung, menerima.
“Buka lah!” Titah Arsyad. Irsyad menurut, membuka sambil terus melihat Arsyad yang tidak peduli.

Ada sebuah kertas surat dan dus kecil. Irsyad hati-hati membuka kertas dan membacanya.

‘Salamaik yo diak. Bangga Abang samo adiak! Baraja lah yang rajin. Jan bantuak Abang lo. Pamaleh, suko main, padahal labiah cerdas daripado adiak, hehe, peace.’
(Selamat ya dek. Aku bangga deh sama kamu! Belajar yang rajin. Jangan kayak aku. Suka malas, seneng main, padahal jauh lebih cerdas dari kamu, hehe, peace.)

Irsyad melirik Arsyad yang bersiul siul, menilik kuku. Gak percaya.

“Abang, pura-pura ngambok yo, Bang? (Bang. Kamu pura-pura ngambek ya, Bang?)” Tanya Irsyad.
“No way, ndak buliah ngambok, kok ngambok bisa ngurangan kadar jenius wak mah. Bukak kardusnyo! (No way, gak boleh ngambek, ngambek bisa mengurangi kadar kejeniusan aku. Buka tuh kardus.)” Irsyad ketawa, tidak sabar membuka.

Ada kalkulator scientific. Kemarin, Irsyad sempet merecoki orangtuanya, ingin mempunyai kalkulator.
Dia ingin jadi akuntan, dan akuntan butuh kalkulator untuk menghitung angka nominal besar.
Arsyad dulu hanya mengejek, jadi akuntannya kapan, kalkulatornya kok sekarang. Pake sempoa aja.

Irsyad senang sekali mendapatkan kalkulator. “Iko untuak awak, Bang? (Ini buat aku, Bang?)”
“Ndak. Untuak tetangga, yo adiak lah. Bodo bana diak ma! (Bukan. Buat tetangga. Ya kamu lah. Bodoh sekali kamu ini!)” Arsyad jadi keki. Irsyad begitu leluasa menunjukkan rasa gembiranya.
“Bang, mokasih yo Bang.. (Bang, makasih Bang..)”
“Jan pake akting sok histeris lo lai. Santai se lah. (Jangan akting sok histeris. Santai aja lah.)”

Arsyad santai, memasang aksen sok keren.
“Kok bisa bali sih, Bang? Dapek piti dari ma? (Kok bisa beli sih, Bang? Dapet duit dari mana?)” Irsyad sangsi. Karena kalkulator scientific cukup mahal.

Arsyad menyungkil tombol reset untuk menyalakan memakai pulpen. Dia sibuk mengotak atik kalkulator. Meniup-niup ga jelas.
“Dapek nabuang ma, Diak. Tadi tu sabana untuak kado ulang tahun. Tapi ulang tahun awak baduo kan masih sabulan lai. Adiak la ndak di siko lai do. (Tuh dapet nabung, Dek. Tadinya buat kado ulang tahun. Tapi ulang tahun kita masih sebulan lagi. Kau sudah tak ada disini.)” Jawab Arsyad masih sibuk mengoperasikan kalkulator. Dan menekan angka.

“Tapi, kan, alun tantu lai do. Ama samo Apa kan ndak satuju awak sekolah di Gema Bhakti. (Tapi, kan, belum tentu. Mamah dan Bapak gak setuju aku sekolah di Gema Bhakti.)” Irsyad agak sedih.
Arsyad menepuk pundak Irsyad.
“Ala tu ma tanang se la. Awak la ngecek kok sama Ama jo Apa. (Beres, tenang aja. Aku udah bilang kok.)” Katanya. Alisnya digerak-gerakkan.

Irsyad mengintip sebuah perkumpulan kecil di ruang tamu. Arsyad ikut mengintip.
“Ama samo Apa tu cuma nio ma mastian sadonyo. Tapi, Ama jo Apa ndak bisa pai ma anta-an ka Banduang, jadi adiak barangkek se samo Debo jo Mang Adi. Awak gai ndak bisa anta-an, karano awak harus ikuik testing masuak SMP. (Mamah sama Bapak cuma mau mastiin segalanya. Tapi, katanya mereka gak bisa antar ke Bandung, jadi kamu berangkat bareng Debo sama Mang Adi. Aku juga gak bisa antar harus ikut testing masuk SMP.)”

Arsyad cuek, mengangkat bahu. Irsyad teriak tertahan memeluk Arsyad. Menggoyangkan tubuhnya.

“Lapeh-an la malu ha aneh. Lapeh, Diak..!! (Lepas ah. Aneh. Lepas, Dek..)” Keluh Arsyad.

Irsyad berlagak tuli, makin menjadi.
Dirinya terpecik kasih begitu nikmat dari keluarganya.
Entah atas dasar apa mereka seolah tidak mendukung Irsyad.
Sihir yang merasuk telah musnah.
Awan hitam telah luruh menjadi hujan lebat yang menyegarkan.


Gema Bhakti, kami datang bersama sejuta cita.

__________________________________________________________________________________
LANJUT KE FANFICT_MIMPI SANG BINTANG-PART 11 : SEPASANG CAHAYA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar