Malam telah larut… Di salah satu ruangan dalam rumah sakit, dua orang anak sedang berdiam diri dalam keheningannya masing-masing. “Aku takut mati, Ik…” ucap seorang dari dua anak tersebut. Ia biarkan tubuh lemahnya terbaring di atas tempat tidur. Ia tutup matanya perlahan. Mengulas memori-memori indah dalam kehidupannya.
Oik menatap anak itu lekat-lekat. Air matanya bergulir jatuh tanpa diminta.
“Masih banyak yang belum aku lakuin… Bahkan aku belum minta maaf padanya.” ucap anak itu seraya membuka matanya kembali.
………………………………..
Mungkin kau bertanya-tanya
Arti perhatianku terhadapmu
…………………………………….
Oik terdiam. Ia seka air matanya dengan punggung tangannya. “Apa karena ego kakak lagi?”
Anak laki-laki itu tersenyum pahit. “Mungkin.” Ia menolehkan kepalanya pada anak perempuan yang duduk di kursi, samping tempat tidurnya. “Aku takut, permintaan maafku gag sebanding dengan apa yang udah aku lakuin selama ini… Aku takut, dia gag maafin aku.”
-
Oik menghentikan langkahnya, saat melihat Debo sedang duduk termangu di taman Rumah Sakit. Dalam hati ia bertanya-tanya mengapa Debo bisa berada di sana, tengah malam begini. Perlahan, ia mendekati Debo, dan duduk di bangku kayu yang berada di sebelah tempat Debo sedang duduk di kursi rodanya.
Debo menoleh, dan mendapati Oik sedang tersenyum padanya. Ia membalasnya dengan senyuman tipis. “Kenapa kamu bisa ada disini?”
“Seharusnya aku yang tanya begitu.” protes Oik, yang disambut dengan cengiran Debo. “Sama siapa, De?” tanya Oik penasaran.
“Cakka.” jawab Debo. “Dia lagi beli minuman di kantin.” lanjutnya ketika menyadari Oik sedang mengedarkan pandangannya, mencari keberadaan Cakka.
Oik pun menengadahkan kepalanya, menatap taburan bintang di langit malam. “Apa begitu susah, untuk memaafkan seseorang?” tanyanya lirih.
Debo terhenyak. Alisnya bertaut satu sama lain, “Maksudmu?”
Oik menatap anak laki-laki di sampingnya, kembali. “Aku boleh cerita sesuatu?” pinta Oik, yang diikuti dengan anggukan Debo. “Mungkin kamu belum tau ini… Obiet adalah kakak kembarku… Aku sengaja merahasiakannya pada orang lain. Aku gag mau orang lain mengenaliku dengan status ‘bersaudara’ dengan salah satu anggota geng berandalan itu. Kamu tau? Aku juga benci sama dia. Aku sama sekali gag akan pernah memaafkan dia jika dia tetap memutuskan gag akan keluar dari geng itu. Tapi beberapa hari yang lalu… Aku mendengar keputusan yang tegas dari dia. Di depan mataku sendiri… Dia keluar dari geng itu. Dia mau memulainya dari awal. Dia gag mau membuat orang lain tersakiti lagi karena sikapnya. Karena itulah, aku menekan perasaan benciku darinya. Dan perlahan… rasa benci itu, terbayarkan dengan kata maafnya…” Kalimat demi kalimat tersebut akhirnya meluncur dari bibir mungil Oik.
Debo tercengang.
Oik tertegun. “Maaf Debo… Mungkin permintaanku ini terlalu egois… Tapi aku mohon, maafkanlah Obiet…” pinta Oik memelas.
-
Cakka mengambil beberapa lembar uang ribuan dari saku celananya, kemudian menyerahkannya kepada penjual minuman di kantin. Setelah itu, ia pun melangkahkan kakinya menuju taman Rumah Sakit, tempat Debo menunggunya. Namun, langkahnya terhenti saat melihat dokter dan perawat-perawat kalang kabut─berlari menuju salah satu kamar yang sedang dilewati Cakka.
DEG !
Cakka terkesiap. Bungkusan tas plastik berisi minuman botol yang dibelinya tadi, terlepas begitu saja dari genggaman tangannya. Dan sejurus kemudian, ia berbalik dan mengambil langkah cepat beranjak dari tempat itu.
-
Debo tak bergeming. Oik semakin putus asa dibuatnya. “Aku tau, itu sulit. Tapi yang perlu kamu tau, kesalahan Obiet padamu, sama sepertiku. Kesalahannya hanya satu, kan? Beda dengan kak Zahra… Dia sudah berkali-kali sakit hati karena sikap Obiet. Namun, dia selalu membuka pintu maafnya pada Obiet.” Oik terdiam sesaat, memperhatikan raut wajah Debo yang mulai melunak. “Jadi… kamu mau maafin Obiet, kan?”
…………………………………..
Pasti kau menerka-nerka
Apa yang tersirat dalam gerakku
……………………………………….
Debo menatap gadis di sampingnya─tak percaya, “Mengapa justru kamu yang bersikeras minta aku maafin dia? Kenapa dia gag datang sendiri untuk minta maaf?”
Oik tertegun. “Debo… Tolong pahami keadaannya…” Debo mengerutkan keningnya─tak mengerti. Belum sempat Oik menjawab, tiba-tiba suara panggilan keras terdengar di belakang mereka. Mereka berdua menoleh dan mendapati Cakka sedang berlari ke arah mereka.
Dengan nafas yang masih terengah-engah, Cakka berusaha memberitau sesuatu pada Oik. “Obiet─” Dan hanya dengan satu kata yang sempat terucap dari mulut Cakka, Oik pun segera tau maksud Cakka. Ia langsung berlari dari tempat itu. Cakka segera mendorong kursi roda Debo, dan mengikuti langkah Oik dari belakang.
-
Debo menatap kosong ke depan. Bayangan Obiet saat ia melihatnya dari celah jendela, terputar berulang kali dalam benaknya. Debo menundukkan kepalanya dalam diam. Satu hal yang membuatnya tak mengerti adalah, mengapa Obiet mengeluarkan banyak darah dari mulutnya?? Ia terus berdebat dengan pikirannya, atas ketidak mengertiannya saat ini.
Oik mendudukkan dirinya di samping tempat Debo duduk di kursi rodanya. Ia menutup wajahnya, dengan telapak tangannya. Perlahan, isak tangis terdengar dari balik tutupan tangannya tersebut.
“Sebenarnya apa yang terjadi pada Obiet?” tanya Debo lirih, yang diikuti dengan gelengan kepala Cakka, yang bermaksud menjelaskan bahwa tak ada sesuatu yang buruk yang terjadi pada Obiet.
………………………………………
Akulah serpihan kisah masa lalumu
Yang sekedar ingin tahu keadaanmu
……………………………………….
“Kita harus memberitahunya, Cak!” sergah Oik tegas. Air mata terus mengalir dari matanya yang sipit.
Cakka menatap Oik, tak percaya, “Ik, kamu masih ingat kan, apa janjimu pada Obiet?”
“Tapi kita gag bisa nyembunyiin ini terlalu lama! Debo juga harus tau semua ini!” seru Oik, sesenggukan. Cakka melenguh dan akhirnya ia pun menyerah. Oik mengalihkan pandangannya pada Debo, “Debo, dengar aku…”
Debo memandang mata Oik yang sembab. Tampak keraguan yang terpancar dari raut wajahnya. “katakan…” ucapnya pelan.
“Obiet terkena ‘sirosis’… Kanker hati…”
-
Debo mengerutkan keningnya, saat mamanya masuk ke dalam kamar perawatannya dengan tergesa-gesa. Dan yang membuatnya lebih heran lagi, mamanya hanya diam saat dirinya bertanya, “Ada apa?”.
Perlahan, air mata mulai menetes dari mata sang mama. “Ma? Mama kenapa?” seru Debo panik. Mama Debo tetap menangis, namun beberapa saat kemudian ia menatap mata Debo, dalam. “Dede’...” Perlahan jemarinya memegang kedua pipi Debo, lembut. Debo sama sekali tak mengerti.
“Barusan, mama diberitau ayah Cakka… Dia bilang… Dia─dia bilang…” Mama Debo tampak sulit meneruskan perkataannya. Di satu sisi, ia merasa tak tega harus mengatakannya. Namun, di sisi lain, ia berpendapat bahwa Debo harus tau hal ini.
“Ma?”
Mama Nur memandang Debo, nanar. Kemudian perlahan ia membuka mulutnya kembali. “Saat kamu dilarikan ke rumah sakit beberapa hari yang lalu… Dokter mengatakan sesuatu pada ayah Cakka. Dokter bilang… kaki kamu harus diamputasi…”
-
Debo menghentikan kursi rodanya sesampainya di taman RS. Satu hal yang menjadi rutinitas Debo beberapa hari ini.
Merenung.
Sejak semua ketidak mengertiannya terungkap, kenyataan-kenyataan pahit terlihat jelas di hadapannya. Dalam hati, ia terus-terusan merutuk takdirnya! Ia bahkan sempat protes pada Tuhan, yang selalu memberikan cobaan yang tiada henti terhadapnya.
“Dokter bilang… kaki kamu harus diamputasi…”
Debo tersenyum kecut ketika perkataan mamanya tempo hari, terngiang kembali dalam benaknya. Ia beranggapan, ‘buat apa aku hidup tanpa sepasang kaki? hanya akan menambah beban orang-orang disekitarku!’
Debo memejamkan matanya perlahan. Menghirup udara sore yang beraroma sejuk sehabis hujan. Tiba-tiba, entah dari mana asalnya, bayangan Obiet terlintas begitu saja dalam benaknya.
“Jarak bukanlah alasan untuk memutuskan persahabatan…”
“Persahabatan kita tetap terjaga…”
“Brothers On 3… Geng berandalan…”
“Meskipun kamu yang benar dalam masalah ini.. Yang perlu kamu tau, guru-guru gag akan campur tangan.. Gag ada yang bisa menentang mereka..”
“Aku tau.. Permintaan maaf ini gag sebanding dengan apa yang udah aku lakuin tadi siang.. Tapi.. jika bisa.. Jika bisa.. Tolong maafin aku..”
“DEBOOOO……!!!!!!”
“Aku mendengar keputusan yang tegas dari dia. Di depan mataku sendiri… Dia keluar dari geng itu. Dia mau memulainya dari awal. Dia gag mau membuat orang lain tersakiti lagi karena sikapnya.”
“Maaf Debo… Mungkin permintaanku ini terlalu egois… Tapi aku mohon, maafkanlah Obiet…”
“Obiet terkena ‘sirosis’… Kanker hati…”
Satu tetes air mendarat di punggung tangan Debo. Ia mengusapnya. Kemudian, ia menempelkan telapak tangannya di matanya yang basah. Air mata? Aku menangis?, batinnya. Debo menyeka air matanya, peralahan. Lalu, mulutnya menggumam kecil, “Sirosis?” Ia tundukkan kepalanya dalam-dalam. Air kembali membasahi matanya…
Tuhan… apa aku harus melakukan ini?
-
Debo memutar roda kursinya menuju kamar perawatan Obiet. Ia menarik nafas terlebih dahulu sebelum membuka kenop pintu. Dan tampak seorang anak laki-laki yang sedang duduk di tempat tidurnya, serta seorang anak perempuan yang sedang duduk di sofa, dalam kamar itu.
Anak perempuan itu berdiri, memandang Debo takjub. Dan lalu sedetik kemudian, ia tersenyum lebar. Ia berharap, Debo datang kesini dengan niat untuk memaafkan Obiet. Dengan riang, ia menghampiri Debo dan mendorong kursi roda Debo mendekat pada Obiet.
……………………………………………
Tak pernah aku bermaksud mengusikmu
Mengganggu setiap ketentraman hidupmu
…………………………………………….
Obiet menatap Debo, canggung. ‘Mungkin ini waktu yang tepat untuk meminta maaf’, batin Obiet. Namun, sebelum ia mengutarakan kata maafnya, tiba-tiba ucapannya terpotong oleh Debo.
“Maaf…” ucap Debo dengan kepala tertunduk. Obiet terkejut. Begitu pula dengan Oik. Debo pun mengangkat kepalanya, dan menatap wajah Obiet yang agak pucat. “Selama ini, aku yang terlalu jahat. Karena gag pernah sekali pun maafin kamu. Jadi, tolong maafin aku ya, Biet…” ujarnya sembari menyunggingkan senyum lebarnya.
Obiet tercengang. Namun, sejurus kemudian, ia tersenyum. “Maafin aku juga ya, Debo.” Debo mengangguk pasti. Oik menghela nafas lega. Akhirnya, mereka bertiga pun asyik berbincang. Menceritakan kisah seru mereka selama terpisah. Hingga beberapa jam berlalu. Matahari telah kembali di peraduannya.
Debo terdiam sesaat, lalu menatap kedua mata Obiet, tajam. “Biet… Boleh aku minta satu permohonan.” Obiet mengangguk. “…Jika aku sudah gag ada lagi, tolong tetap jaga persahabatan ini…”
……………………………………….
Hanya tak mudah bagiku lupakanmu
Dan pergi menjauh
……………………………………….
Obiet terhenyak. Dalam hati, ia bertanya-tanya sekaligus tersenyum hambar. ‘Seharusnya aku yang mengatakan ini’, batinnya. Namun, ia mengurungkan niatnya. Ia sudah bertekad tak ingin memberitahu Debo masalah penyakitnya, sampai waktu menjemputnya.
Debo pun pamit untuk kembali ke kamarnya. Obiet mengiyakan. Meskipun ia masih ingin mengobrol dengan Debo. Namun, ia juga semestinya sadar kondisi Debo saat ini. Oik pun juga pamit untuk mengantar Debo menuju kamarnya. Hitung-hitung sebagai ucapan terima kasih karena Debo mau memaafkan kakak kembarnya tersebut.
Oik terus mendorong kursi roda Debo, melintasi koridor-koridor rumah sakit. Hingga langkahnya terhenti saat Debo menggumam sesuatu. “Aku mau bicara sesuatu.”
Oik pun mendorong kursi roda Debo menepi, dan duduk di kursi kayu di samping kursi roda Debo. Ia terhenyak saat melihat raut wajah Debo lebih jelas. Raut kekhawatiran, keraguan, ketakutan, kesedihan, kebimbangan, seakan bercampur menjadi satu dalam dirinya. “Debo?”
Debo pun menceritakan segala niat yang telah ia pikirkan sedari tadi pada gadis di sampingnya tersebut.
Mulut Oik ternganga lebar. Perlahan, air mata yang mulai dibendungnya sedari tadi menetes. Ia menggeleng kuat. Ia benar-benar tak setuju pada ide Debo saat ini. Meski ini demi kebaikannya dan kebaikan orang-orang di sekitarnya. Namun, ia sama sekali tak setuju… Tak setuju…
…………………………………….
Beri sedikit waktu
Agar ku terbiasa bernafas tanpamu
……………………………………..
--to be continued--
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar