Selasa, 29 Juni 2010

FANFICT_MIMPI SANG BINTANG-PART 14 : BATTLE CHOIR

LANJUTAN DARI FANFICT_MIMPI SANG BINTANG-PART 13 : KAMAR GADIS

PART 14 : BATTLE CHOIR


“Jangan lari-lari kayak gitu Cakka. Nanti kamu jatoh!” Seru Shila.
Dia menjadi pemandu Cakka. Dan agak kewalahan dengan Cakka yang menurutnya hyperaktif.

Cakka dongkol, karena Shila memperlakukannya seperti anak kecil. Shila mendorong troli agak cepat.
Cakka memasukkan kedua tangan ke saku, menoleh melihat-lihat sekitar.

“Oh iya, aku tunjukkin dining room ya?” Shila berbelok hendak ke dining room yang ada di bawah tangga menuju asrama putri.
“Gak usah deh, langsung ke kamarku aja. Gue capek!” Tepis Cakka.
Shila mendorong trolly lagi mengikuti Cakka yang berjalan cepat.

“Oke.” Shila kesal.
“Kamar kamu di asrama selatan, South Prince Palace, itu asrama khusus cowok. Kamu kesana sendiri aja ya. Cewek kan gak boleh masuk kesana.” Cakka menghentikan langkahnya.
“Gimana sih, gak tanggung jawab gitu!” Semprotnya.
Shila mencari-cari temannya yg cowo. Tapi, tidak ada yang nganggur, semua sibuk menjadi pemandu dan panitia.
Dia lalu menghampiri ruangan dengan meja panjang seperti resepsionis. Itu namanya ruang pengawas. Disana ada seorang Ibu-Ibu sedang serius di depan computer. Ibu kurus dengan kacamata berbingkai emas.

“Mrs Shinta. Saya harus mengantar siswa laki laki baru ke asrama.”
“Beritahu saja, di lantai berapa, dan letaknya dimana, dia sudah punya kamar kan?” sahut Mrs Shinta tanpa mengalihkan pandangannya dari layar.
Cakka mendekat.

“Saya tidak tahu, Bu. Saya masih gelap soal lokasi-lokasi dan peta gema Bhakti, Buu..” Cetus Cakka. Shila berjengit, takut sikap Cakka yg menurutnya kurang sopan membuat Mrs Shinta tersinggung dan marah.
Mrs shinta terkenal agak arogan dan beberapa anak malas berurusan dengan beliau.
Mrs Shinta mengangkat wajahnya, awalnya seperti akan marah, dia memandangi Cakka dengan cermat. Alis Cakka bertaut.

“Kamu putranya Bapak Tunggul Dhewa, ya?” Tanya Mrs Shinta. Tiba-tiba. Cakka merenggut, memandang Mrs Shinta yang tersenyum padanya.
“Kok tau sih? Aneh!” Shila juga bingung. Dia baru pertama kali melihat senyum Mrs Shinta.
“Wajahmu mirip Pak Tunggul.” Ujar Mrs Shinta, ragu.
“Terus..” Cakka, cuai. Mrs Shinta tak berbicara jauh, dia melirik Shila yang melongo.
“Ya sudah antarkan saja ke kamarnya. Saya tidak bisa menemani, karena tidak ada petugas yg menggantikan disini. Tapi jangan lama-lama ya.”
“Terima kasih, Mrs.” Shila mendorong trolly lagi, menengok pada Mrs Shinta yang tersenyum menatap layar computer.

Shila mendorong troli ke dalam lift. Cakka menyusul malas-malas. Lantai berapa?” Tanya Cakka.
Shila melihat ke tulisan di atas pintu lift. Kamar 20. Di lantai 3.”

“Lama ah.” Sewot Cakka. Shila menabahkan mentalnya yang sebenarnya ingin emosi.
“Kamu anak Pak Tunggul?” Tanya Shila.
“Iya. Kenapa?”
“Gak. Memang Pak Tunggul siapa?” Shila jadi kikuk sendiri.
“Bokap gue..” Jawab Cakka, dingin.
“Maksud aku, kok, Mrs shinta bisa kenal kamu?” Kejar Shila.
“Gue gak tau, Shilaaaaa..” Cakka seperti capek. Shila mengunci bibirnya agar berhenti menanyakan hal-hal yang tidak penting.

Pintu lift terbuka. Shila terus bersabar. Cakka berjalan mendahului, dia lalu diam di depan kamar 19, dia tidak teliti, melihat nomor yang terpajang di pintu.
Dari lift yg satu lagi, terbuka, muncul Irsyad dan Patton. Mereka cuma senyum-senyum lalu masuk ke kamar di hadapan Cakka berdiri tegap.

Shila sedang menalikan tali sepatunya yang terlepas di dekat troli.
Cakka masuk ke kamar 19, yang pintunya baru dimasuki Irsyad dan Patton. Angkuh. Debo dan Obiet sedang melipat selimut berdua, menoleh. Irsyad juga menegok. Dan melihat Cakka, heran.

“Kok udah ada empat orang, sih? Emangnya ada satu kasur berdua gitu?’ Cakka bertanya tanpa basa basi. Memandang satu persatu muka-muka yang bingung melihatnya.
Shila tidak menahu dan baru pertama kali ke asrama cowok mendorong troli, melongok ke dalam kamar.

“Eh, Shila. Emang ada satu kasur berdua. Ngeri ah. Ogah, lama-lama bisa jadi jeruk makan jeruk kita!” Cakka senewen.
“Nggak, kok. Memangnya kenapa gitu?” Jawab Shila.

“Maaf ada apa ya?’ Interupsi Obiet.
“Kamar gue disini. Kayakna ada yang salah kamar, deh, di antara lo semua.”
“Kami memang di kamar ini kok. Tadi saya diantar oleh pemandu langsung.” Tepis Obiet, sambil mendekat.
Patton agak jengah. Soalnya hanya dia yg mengembara mencari kamar sendiri. Tapi dia yakin ini adalah kamarnya.
Shila berdecak. Obiet memperhatikan.

“Kak, memangnya anak ini,” “Gue Cakka!” Cakka memotong. Shila menyahut, “Aku Ashila, panggil aku Shila.” Polos.
“Ya, aku Obiet, Cakka di kamar berapa?” Tanya Obiet
“Cakka...”
“Di kamar ini. Aduhh, gimana sih manajemennya. Aku lapor ke direktur nih.” Keluh Cakka.
“Jangan.” Seru Sila. Dia ketakutan. “Cakka di kamar20. Maaf aku baru kali ini ke asrama cowok. Jadi gak tahu, penempatan ruangannya agak beda dengan asrama Srikandi Chambers.”
Obiet berdiri lalu berjalan ke daun pintu. Shila mundur memberi ruang.

“Ini kamar 19, Kak. Kalo 20 di samping kami.” Obiet menunjukkan pintu kamar yang tertutup rapat.
Kamar mandi di asrama putra memang di apit oleh 3 kamar di masing-masing sisi, setiap tiga kamar, ada kamar mandi lengkap. Dan, tidak memiliki dapur.

Shila mengangguk angguk. Cakka tampak agak malu tapi dia tutupi dengan bergeram.
Irsyad ketawa tanpa suara. Patton malah terkekeh agak keras. Hal ini membuat Cakka kesal.

“Malu nih yeee. Salah, ngotot pula. Mending langsung kabur deh ke planet Pluto!!” Debo menaruh telunjuk di bibirnya “Stt” supaya Patton tidak meledek terus, takutnya belum apa-apa udah ada permusuhan.

Shila mendorong troli namun, malang. Kakinya tergilas roda. Dia segera berlutut dan mengaduh. Troli berisi barang-barang yang tampak sangat sesak dan berat, menggilas dan menyeret kaki Shila, sangat menyakitkan, pastinya. Shila menjerit.
“Aduh, lecet nih..” Rengeknya, jongkok mengelus septunya yang kiri.

Obiet segera menghampiri dan mendorong troli, agar menjauh. Debo juga beranjak, ingin membantu. “Harusnya kamu yang bawa troli ini. Masa nyuruh cewek sih?? “ Kata Debo. Cakka melotot. “Terserah gue lah. Dia yang mau kok.”

Obiet membantu Shila membuka sepatu dan kaus kaki. Melihat luka. Karena ada bercak darah di kaus kaki Shila. Memang kulitnya agak lecet, kisut, pasti perih. Shila meringis pelan.

“Saya antar ke klinik ya, Kak? Harus segera di obati. Takutnya infeksi dan lama deh sembuhnya.” Analisis Obiet. Debo mendukung.
“Aduh makasih ya.” Shila jadi serba salah. Obiet membantu Shila berdiri, dan membawa sepatu Shila sebelah kiri.
“De, aku mau antar kak sila dulu ya.” Pamitnya. Shila, mengaduh, berjingkat-jingkat.
“Ya udah, biar tuan muda ini aku antar ke kamar.” Ucap Debo, tanpa maksud apa-apa.
“Ga usah, gue bisa sendiri.” Tolak Cakka kesal.
Dia mendorong troli terburu-buru. Debo angkat bahu. Irsyad ketawa-ketawa bersama Patton.
Sementara Obiet membantu Shila memapah berjalan ke lift, menekan tombol turun.

“Kenapa ketawa, Syad?” Tegur Debo.
“Gaaa..” Irsyad mengingkari sikapnya. Patton cekikikan.
“Itu, tadi siapa tadi?” Tanyanya.
“Cakka”
“Tuh anak ngebossy gitu. Tapi apes ya. Pede banget tadi bilang ini kamar dia!” komentar Patton, karena dia sempet khawatir, sudah masuk kamar yang salah.
“Cuma salah faham. Gak perlu terus di bahas.” Debo memperingatkan.
“Perlu, De. Ini hiburan, De.” Irsyad jahil.
“Iya, tapi kan gak enak, kalo baru hari pertama kita sudah punya musuh. Kalau kita di posisi dia kita juga pasti malu lah.”
“Paling gak tadi minta maaf, lah. Permisi nggak, pamit nggak, kayak jelangkung aja.” Tukas Patton. Irsyad setuju, mereka toast.
“Dia lupa kali.”
“Tadi pemandu dia kasian, jadi korban tuh. Gawat juga ya. Cowok kasar harus dimusnahkan!! Aku donk, pria sejati” Irsyad bangga.
“Iya, pemandunya cantik. Kayakna si Obiet naksir, inget gak tadi ekspresi dia pas Shila jerit-jerit. Kayak abis dirampok aja.”

Patton dan Irsyad ketawa gak jelas lagi. Debo hanya senyum simpul lalu duduk di kasur.

“Kebetulan aja Shila ada di dekat Obiet, tadi. Kan kasian kalau tidak ditolong.” Jawab Debo, diplomatis. Irsyad jadi keki.
“Ahh kamu mementahkan pernyataan kita mulu!”
Debo angkat bahu lagi.

“Kayaknya musti mandi nih, kan mau ada cara makan malam.” Ucap Debo mengakhiri obrolan mereka yang tidak menghasilkan apapun.
“Tapi kok masih sepi ya?” Irsyad menerawang.
“Ya, soalnya cuma pertemuan dengan wakil direktur sekolah dan beberapa pembantu direktur juga ketua Pembina seperti itulah.”
“Tahu dari mana, De?”
“Nih di jadwal. Makanya jadwal jangan di taro di tas terus, Syad. Kamu bereskan bawaan kamu deh, cepat! Kayak raja minyak, aja, datang langsung lenglang santai-santai.”
Irsyad mau protes, tapi dia patuh. Turun ke bawah, menyentuh tas-tasnya.

“Berarti ada sambutan kayak gitu ya?” Patton meneruskan membereskan barangnya.
“Makan juga.” Irsyad girang.
“Sip deh, sedep!” Patton ikut girang. Debo menggeleng.
Dia lebih baik mundur dari dua karib yang seperti menemukan belahan jiwanya.

“Aku mandi duluan, ya.”
“Ya, silahkan Bung Debo.” Debo keluar membawa ember kecil dan handuk.
“Hati-hati kalo ketemu tuan muda tadi, salam aja. Peluk hangat dan kecup dari pria di ambang batas maksimal ketampanan bernama Icad. Okeh?” Debo mengembungkan pipinya, tidak peduli.
“Dari Patton juga. Cium mesra penuh nuansa cinta.”
“Aduh, sudah dong, kalian ini!!!”

___________________________________________________________________________________

“Makasi ya, Dok.” Ucap Rahmi sambil membantu Shila berjalan keluar dari ruang periksa.

Obiet yang menunggu di bangku panjang, berdiri.
“Sudah, Kak? Baik-baik aja, kan?” Tanyanya sambil melihat kaki Shila yang diperban, sedikit.
“Iya aku gak papa, kok, Cuma lecet dikit aja. Agak perih, sih. Makasih ya udah anter.” Ucap Shila, tulus, menyunggingkan senyumnya.
Wajah Shila yang cantik berbinar. Obiet mengangguk.
Mereka keluar dari klinik. Lalu duduk di bangku panjang dari kayu.

“Jadwal hari ini makan malam aja, kan?” Tanya Shila sambil memakai sepatunya hati-hati. Rahmi mengangguk.
“Iya soalna baru hari pertama dari registrasi, itu pun hanya siswa jalur beasiswa dan Ujian Masuk Pusat, jadi belum ada jadwal yang berkaitan dengan kemahasiswaan.” Jawab Rahmi.
Dia membantu Shila mencopot tali sepatu agak tidak mengekang punggung kakinya.

Dari arah samping datang Angel mendorong kursi roda Riko. Wajah mereka cemas sekali.
“Aduh Shila. Kamu kenapa?” Angel menghambur pada Shila.
Hampir menginjak kakinya. Angel mundur, menelungkupkan tangannya di dada, minta maaf.
“Aku baik-baik aja, Sist. Cuma kelindas roda troli.” Angel menggigit bibir. “Troli kan jumbo gimanaaa gitu. Pasti pedih banget.” Shila hanya tersenyum simpul.

Riko mendekat. “Beib, kamu gak apa apa?” Shila agak malu, karena ada Obiet disana.
Dia ingin sekali hubungannya dengan Riko tidak diketahui publik luas, tapi kebenaran selalu terungkap lebih cepat dari deru angin.
Shila mengangguk pelan. Obiet mendengar sekilas, dia jadi tercenung, berpikir.

“Makanya hati-hati ya. Jangan ceroboh.” Riko berkata tegas, Shila hanya mengangguk.
Riko menyentuh tangan Shila, Rahmi berdeham keras, mereka lalu segera melepasnya.
Obiet agak bingung, dia merasa asing, karena berada di populasi baru.

“Kak, saya mau kembali ke asrama.” Pamit Obiet, karena dia juga harus segera siap-siap untuk makan malam.
“Oh iya, makasih banget ya, Obiet.” Ucap Shila. Riko memandang Obiet. “Dia yang antar aku kesini.” Beritahu Shila. Riko mengangkat alisnya, lalu tersenyum
“Makasih ya, Biet.”
“Ya!”

_________________________________________________________________________________
LANJUT KE FANFICT_MIMPI SANG BINTANG-PART 15 : MAKAN MALAM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar