Debo memandang wanita setengah baya, di hadapannya tersebut. Seketika pandangannya memelas, supaya mamanya mampu mengabulkan permohonannya kali ini. “Ma… Debo mohon…”
Mama Debo terus menangis. Namun beberapa saat kemudian ia menyeka air matanya, dan menatap mata Debo, dalam. “Kalau memang, itu yang terbaik. Baiklah… Mama ijinin sayang…”
Debo pun segera memeluk mamanya. Dan ia pun bergumam pelan. “Terima kasih ma…” Mama Debo mengangguk. Perlahan air mulai membanjiri pipinya kembali. Ia mempererat pelukannya pada anak semata wayangnya tersebut. Berharap, ini adalah pelukan terakhir yang bisa selalu diingatnya selama masa hidupnya.
-
Ayah Obiet masuk dalam ruang perawatan Obiet dengan tergesa-gesa. Ia pun segera mengabarkan kabar gembira yang didapatnya dari dokter beberapa saat yang lalu. Bahwa dokter telah menemukan donor hati untuk Obiet. Obiet menutup mulutnya dalam rasa syukur yang begitu membara. Berita yang sangat ia tunggu-tunggu pun akhirnya tiba.
“Besok waktu operasinya. Jaga kondisi baik-baik ya.” ujar ayah Obiet mengingatkan. Obiet mengangguk. Namun, entah mengapa perasaannya tak sepenuhnya senang. Ada sesuatu yang sedikit mengganjal dalam hatinya. Entah apa itu…
-
Siang dan malam terus berganti. Entah sudah berapa hari berlalu semenjak Obiet menjalani operasi. Dan hari ini, ia pun sudah diperbolehkan pulang, dan menjalani hari-hari layaknya anak biasa. Namun, sebelum pulang, ia meminta kedua orang tuanya untuk mengantarkannya ke makam seseorang yang telah berbaik hati mendonorkan hati yang ada dalam dirinya saat ini. Orang tuanya menyanggupi, dan Oik hanya bisa terdiam. Karena ia sadar, cepat atau lambat Obiet pasti akan mengetahui siapa orang yang mendonorkan hati untuknya, meskipun ia berusaha untuk menyembunyikannya.
Obiet terus berjalan di belakang orang tuanya, menyusuri jalan setapak yang dikelilingi oleh puluhan nama yang terukir rapi dalam nisan. Hingga mereka berhenti di suatu makam. Seorang wanita berkerudung, tampak duduk tertunduk di depan makam itu. Lalu perlahan, wanita itu mengangkat wajahnya, menatap Obiet beserta keluarganya.
“Nurhalimah?” seru mama Obiet seraya menghampiri wanita berkerudung itu.
Obiet terhenyak. Tentu saja ia mengenali siapa wanita itu. Ibu dari sahabat kecilnya… Seketika, firasat buruk mulai menyelimutinya. Sekuat tenaga, ia membaca sebuah nama yang terletak di makam tersebut.
Andryos Ariyanto
Lututnya lemas seketika. Ia menggeleng kuat. Mencoba menyangkal, bahwa ini bukanlah kenyataan. Oik menangis. Ia pun mendekati Obiet dan merangkulnya erat. “Maaf, kak. Selama ini aku gag jujur sama kakak.” Obiet menoleh cepat pada Oik. Ia terkejut bahwa ternyata Oik telah mengetahui siapa pendonor hati itu, sebelumnya.
Oik pun menceritakannya dengan jelas. Setelah Debo dan Obiet saling meminta maaf, Debo memberitahunya sesuatu. Bahwa ia berniat untuk mendonorkan hatinya pada Obiet. Sebelumnya, Oik sempat menolak permintaan Debo untuk melakukan itu. Namun, Debo tetap bersikeras, seakan-akan ia telah memikirkan niatnya tersebut secara matang.
Obiet menutup mulutnya, tak percaya. Seketika, suara gemuruh terdengar keras di telinganya. Air mulai turun ke bumi menyatukan semua bebannya. Serasa bumi turut menangisi kepedihan mereka saat ini. Obiet menangis hebat. Ia biarkan hujan mengguyur seluruh tubuhnya. Dalam hati, ia terus memberontak. Dan melontarkan satu kata yang entah kapan bisa terjawab.
Mengapa?
-
-
2 bulan kemudian…
“Obiet.”
Obiet menoleh saat mendengar namanya dipanggil oleh seseorang. Dan ia menyunggingkan senyumnya saat menatap Zahra berjalan mendekat. “Kak Zahra? Kenapa bisa disini?”
“Diajak Sivia.” jawab Zahra.
“Apa kabar, kak?”
Zahra tersenyum lebar seraya mengangkat satu jempolnya, seakan memberitau Obiet bahwa keadaannya begitu baik. Zahra mengedarkan pandangannya ke sekeliling aula. Ya. Aula ICJHS, yang telah dihias sedemikian rupa demi pensi tahun ini. Kemudian, pandangannya terhenti tepat di tengah panggung. Tampak adik perempuannya─Sivia dan satu temannya─Gabriel, sedang berimprovisasi dalam nyanyian, memadukan musik Jazz dan Rock.
-Flashback-
Zahra terperanjat saat Sivia mengabarkan satu hal yang sukses membuatnya begitu gembira. “Kak, aku udah dapat donor mata buat kakak !” Sivia merangkul erat kakaknya tersebut, “Kakak masih ingat, anak laki-laki yang nganterin kakak pulang waktu itu? Debo… Dia yang berniat donorin matanya buat kakak…”
-Flashback End-
Tepuk tangan riuh terdengar hingga seisi ruangan, menutup penampilan dari Sivia dan Gabriel. Sivia dan Gabriel berlari mendekat ke arah Obiet yang sedang berkumpul bersama murid kelas 8D yang lain. “Selanjutnya giliran kalian. Kalian sudah siap?” tanya Gabriel. Mereka mengangguk pasti. Kemudian, berjalan perlahan menuju panggung. Mereka membentuk satu barisan menyamping, dan memandang seisi ruangan yang mulai hening.
Obiet maju satu langkah, mendekat ke arah microphone. Ia berujar pelan, “Kami dari kelas 8D, ingin mempersembahkan suatu lagi untuk teman kami yang telah tiada… Debo…” Kemudian, ia mundur satu langkah, kembali ke tempat semula.
Musik intro mulai terdengar, dan mereka mulai menyanyikan satu lagu.
Mengenangmu di hari itu
Di saat ku masih bisa melihat senyumanmu
Meyapamu di pagi itu
Di saat ku masih bisa bercanda dan berbagi tawa
Namun kini kau telah pergi dan takkan kembali
Semoga kau dapatkan tempat terbaik
Di sisi-Nya
Bilakah kau bersedih bila kau menangis
Kan kuhapus tangisku asal kau bahagia
Dan bilakah kau kini telah disisinya
Kuharap kau disana tetap selalu tersenyum ceria
Bunyi derasnya hujan, tampak terdengar seakan ikut mengiringi alunan lagu itu. Obiet memandang sekeliling. Semua anak tampak menangis, tertahan. Mata mereka tersirat rasa kehilangan yang begitu mendalam. Obiet tersenyum hambar─menatap rintik hujan yang mulai menderas.
Debo…
Kau lihat?
Meski kini kau tak berada di satu panggung bersamaku…
Meski kini kau tak akan pernah kembali lagi…
Perlu kau tau satu hal…
Persahabatan ini tak akan pernah berakhir…
FRIENDSHIP NEVER END
F.I.N
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar