Selasa, 29 Juni 2010

FANFICT_MIMPI SANG BINTANG-PART 16: OYASUMINASAI

LANJUTAN DARI FANFICT_MIMPI SANG BINTANG-PART 15 : MAKAN MALAM

PART 16 : OYASUMINASAI



Cakka berdiam diri di kamar, membungkuk, tangannya menelungkup.
Dia kesal sekali. Kamar miliknya hanya ada dia sendiri.
Mungkin dia sekamar dengan murid regular. Bukan murid yang masuk lewat jalur beasiswa dan ujian masuk pusat yang registrasi dan harus datang lebih awal.
Murid regular baru registrasi besok.

Dia memandang kamar yang acak-acakan. Membayangkan kejadian tadi siang dan di ruang makan.
Dia bertemu dengan empat teman barunya yang dia temui saat salah masuk kamar, dia kesal karena dua orang diantara mereka tampak sangat mengolok-olok dia.

Cakka mengeluarkan handphone dari balik bantal. Dia menekan nomor yang sangat dia hapal. Dia lalu menelepon ayahnya.
“Ayah?” Cakka berbaring. Terdengar suara dari seberang telepon.
“Aku baik-baik aja, yah. Tapi hari pertama gak bagus nih.”
“Yah gitu deh. Aku malu kalo berhadapan sama orang belum kenal. Malah Cakka kesannya sombong.” Suara Cakka terdengar sedih. Dia memang kesulitan mempagari dirinya, agar tidak menutupi malunya dengan berlagak angkuh dan sok cuek.

“Iya, Cakka tahu, tapi aku bingung kenapa kayak gini, Yah. Sekarang ayah dimana?” Cakka berharap, ayahnya masih di Bandung.
“Oh di kereta. Hati-hati, Yah. Salam buat Kak Elang, Cakka kangen.” Mata Cakka nanar menatap atap kasur. “Okeh yah. Miss u. Assalamu’alaikum.”
Cakka menutup obrolan, mengotak atik handphone, lalu menyembunyikan di bawah kasur.
Berbaring ke samping, mengalaskan tangan untuk kepala.
Matanya kosong, melamun, merasa sendiri. Sepi.

____________________________________________________________________________________

Zahra sedang menyisir rambut panjang Sivia.
Mereka duduk di atas karpet milik Sivia yang hangat karena tebal dan empuk.
Oik mengikir kuku Agni dengan three step manicure set.
Agni pasrah dipercantik, karena kini dia kini berada di lingkungan cewek yang peduli dengan penampilan.

“Tadi udah belum ketemu sama temenmu itu?” Tanya Agni. Oik mengerutkan kening, konsentrasi membuat kuku Agni bening mengkilat.
“Gak jadi, aku ilfil duluan.” Jawabnya, enteng.
“Oh cowok yang mirip Glenn Fredly itu, ya? Dia terus-terusan iseng bikin kamu ngambek.” Agni terkekeh. Oik manyun.

“Knock knock knock, Glenn Fredly apaan, buu. Weird gitu juga. Glendotan iyah. Malas banget gak sihh, udah gitu, sok jaga-jaga sikap di depan kakak kelas. Benar-benar monster pembunuh karakter. Aku hampir mau muntah lihat dia cengengesan terus. Kalau aku maksain diri buat tanya dia soal denah kamar, aku pasti akan lalui masa pubertas dengan statis alias monoton!!” Oik lebay.

Agni makin terkekeh. Oik agak pundung, berhenti mempercantik kuku Agni. Agni merayu, lalu Oik pun luluh dan manicure-an lagi.

“Iya aku tadi lihat dia ngegodain kamu, lho, Oik. Anaknya kocak, ya?” Ucap Sivia. Oik memutar bola matanya.
“Ihh. Males.” Sahut Oik, dia melirik Zahra yang agak diam setelah makan malam.

Zahra masih excited ketemu Debo.
“Kalo kamu gimana Zahra?” Zahra tergagap. “Tadi kamu liatin cowok yang seberang aku terus, deh.” Sivia tanpa basa-basi bertanya, muka Zahra terasa panas.
“I-iya, itu temenku, di desa. Dia tetanggaku. Namanya Debo.”
“Lucu yah?” Ucap Sivia, bermaksud menggoda. Zahra merenggut.
“Kamu jadi gak tanya soal penataan ruang ke dia.” Kata Oik.

Zahra menarik nafas lemah.
“Belum, aku malu. Lagipula tadi habis makan malam. Anak cowok langsung digiring sama kakak kelas ke asrama.”
“Digiring? Kayak bebek aja.” Timpal Agni.

Zahra seperti menyerah, dia tidak suka dipojokkan dan digoda, karena dia sedang tidak bisa berlagak sok cuek.
“Ih, Debo tuh baik tahu. Ngajinya bagus, deh. Dia temen ngaji juga. Anaknya gitu, pendiem. Aku kadang suka bingung kalau ketemu dia. Kalo di tanya baru jawab sekenanya. Kalo gak ditanya, ya gak ngomong.” Terang Zahra, ingin memperbaiki posisinya, agak tidak semakin tersudut.

“Pasif gitu. Aku gak betah sama cowo pasif.” Cetus Oik.
Tapi, dia pun menambahkan dalam hati, “Tapi gak suka juga sama cowok kelewat aktif dan jahilnya minta ampun kayak Patton.”

“Jadi kamu suka cowok agresif?” Agni tampak kaget. Oik terperangah.
“Bukan, bukan, maksud aku, cowok kan enaknya lebih terbuka, lebih open, yang memulai suatu percakapan. Kan gak enak kalo kita harus terus ngajak ngobrol duluan. Ntar di bilang kecentilan deh.” Jelas Oik. Zahra termangu. Sivia mengikat rambutnya.
“Iya sih..” Agni dan Sivia manggut-manggut gak jelas.

“Nggak ah. Justru cowok dingin, tuh, bikin penasaran!” Bela Zahra.
Mau bagaimana lagi, dia tidak bermaksud agresif. Tapi, kalau dia tidak memulai, Debo tak akan pernah memberinya harapan buat ngobrol. Mungkin, Debo tidak pernah butuh dia. Zahra agak sedih memikirkannya.

“Kayaknya, Zahra kagum ya sama Debo?” Agni menangkap raut wajah Zahra. Zahra mengerjapkan matanya. Tapi, Zahra mengangguk.
“Yup. Awalnya, aku pikir ini cuma kekaguman sesaat yang akan ilang gitu, aja. Ternyata, malah bertahan hingga sekarang. Malah, aku semakin semangat masuk GB karena dia keterima lewat jalur beasiswa. Tapi, aku kesal sama dia, dia tuh gak peka banget, gak ada upaya sedikitpun buat nanggepin aku.” Zahra berkata, murung. Agni menggeleng.

“Kenapa, sih, kamu bisa sampai tertarik sama Debo? Aku dulu pernah naksir cowok, karena dia jago matematika, tapi langsung males pas tahu dia suka kentut dan pup di celana. Amit-amitttt!!” Seloroh Sivia.
Semua terkikik, agak ngeri bayanginnya. Zahra menyimpan sisir di meja rias.
Lalu duduk di karpet, menyenderkan kepala ke samping ranjang.

“Gak tau. Aku sendiri bingung. Terlalu banyak alasan sih. Jadi, aku gak tahu alasan tepatnya gimana. Aku juga capek, sih.”
“Cieeeee..” Goda Sivia, Agni dan Oik kompak. Zahra sebel.
“Apa sih cie… Cie.. Oh iya, aku punya puisi yang terinspirasi dan di dedikasi buat dia lho.?” Ucap Zahra, pamer. Sivia menggeser duduknya dan gelendotan di bahu Zahra.
“Kamu suka buat puisi ya?” Tanyanya. Zahra menempelkan kepalanya ke kepala Sivia, matanya menatap satu titik.

Ada harapan yang senantiasa tersimpan rapi dalam hatiku.
Harapan yang tercipta saat aku mengenalmu.
Harapan yang memberiku rasa bahagia.
Harapan yang memberiku kekuatan.
Harapan yang membuatku bermimpi indah.
Harapan semu yang memberi rasa bahagia yang nyata.
Harapan yang mampu membuatku tersenyum tulus.

Harapan.


“So sweet….” Koor mereka. Oik bertepuk tangan. Agni bahkan bersiul nyaring. Kuping Sivia sampai mendenging.

“Aku sih belum punya alasan buat tertarik ma cowok.” Kata Oik, serius.
Agni bertanya dalam hati “Perasaan tadi Oik bilang gak suka cowok pasif, sekarang bilang gak ada alasan buat suka sama cowok. She’s contradicting herself!”

“Kan gak perlu alasan Oik.” Tepisnya. Oik menoleh, menggeleng, yakin.
“Cowok itu mengecewakan!” Seru Oik.
Agni ingin bilang “Bagaimana dengan ayah dan saudara cowok kamu”, Tapi urung, Oik tampak terdiam. Zahra bergeser.

“Kita punya pendapat masing-masing. Kita harus menghargai tiap pendapat. Ya, kan?” Oik mengembangkan senyum.
“Yupzy.“ Seru Sivia.

Agni penasaran apa Sivia pernah naksir cowok, karena Sivia lugu gitu. Tapi, Sivia sendiri bertanya, apakah Agni pernah naksir cowok, kan, Agni tomboy gitu. Mereka tersenyum sendiri.
Terdengar suara pintu yang di ketuk. Sivia membukakan kunci.

“Ya, kak?” Angel yang datang. Dia mencepol rambutnya, seperti boneka.
“Maaf, aku Angel. Cuma ingin ngasih tahu. Aku kan kakak pengasuh kamar ini. Sekarang udah jam 10, lebih baik kalian cepet tidur. Dan kalau masih mau ngobrol pun, jangan terlalu berisik, ya? Kamar di kunci dari dalam. Tapi jangan dibiarkan di dalam lubang kunci. Besok pagi, aku akan mengetuk pintu. Kalau kalian belum membukakan, aku akan buka pintu dari luar, untuk membangunkan kalian. Untuk solat jamaah Subuh di mesjid.” Angel tampak sangat menghapal kalimat tadi.
Dia berkata runut, dan tak mau salah satu kata pun. Agni malah melongo “Wow..”

“Oke kak.” Sivia tidak mau ambil pusing.
“Kalian gak usah khawatir. Yang punya kunci ini, adalah kalian, aku, dan pengawas. Cowok mah HARRRAAMM masuk ke asrama cewek!!” Tambah Angel. Semua sudah sangat tahu peraturan itu.
“Makasih ya, Kak”
“Sip. Maaf yah udah ganggu. Good nite..”

Angel pergi mengejar Shila. Seperti lega sudah menunaikan tugasnya.

Sivia menutup pintu, mengunci dan meletakkan kunci di atas meja rias yang penuh dengan peralatan ‘sakti’ ke empat gadis. Sivia berbaring di kasurnya.
“Kak Angel cantik, ya?” Gumamnya.

Oik mengakhiri treatmentnya.
Agni menatap kukunya, hanya senyum kecut. Dia tidak mengerti kenapa perlu membuat kuku menjadi bercahaya. Toh, tak ada yang sadar kalau tidak dipamerkan.
Dan, cewek mana yang rela mempermalukan dirinya dengan berkoar koar memamerkan kuku bercahaya hasil perawatan gratis teman sekamar?
Oik mungkin akan menjawab. “Rasa puas ini takkan terbeli, dan kau yang menikmati, akan tahu letak dari rasa bangga memiliki kuku indah dan menyilaukan!”

“Aku mau tidur duluan yah.” Ucap Zahra. Dia menyelimuti tubuhnya. Zahra mengibas rambutnya.
“Okeh. Met bubo ya, Ra?” Ucap Agni.
“Berdo’a dulu!!” Oik bawel. Zahra tertawa centil.
“Oyasumi..” Seru Sivia. Zahra membalikkan tubuhnya ke arah dinding.
“Oyasumi nasai.”


____________________________________________________________________________________
LANJUT KE FANFICT_MIMPI SANG BINTANG-PART 17 : SOMEONE IN DARKNESS

2 komentar:

  1. waaah!! makasih banget ya udah nge-post ini! aku nyari-nyari dari kemarin. ceritanya keren banget^^

    BalasHapus
  2. eh, kamu ada file ceritanya gak dari awal sampai terakhir? atau kamu punya yang mana aja deh. Soalnya aku lagi ngumpulin buat baca lagi. Kalo punya aku boleh minta gak? Please... Makasih banget yaa!

    BalasHapus