Selasa, 29 Juni 2010

FANFICT_MIMPI SANG BINTANG-PART 12 : THE BEGINNING

LANJUTAN DARI FANFICT_MIMPI SANG BINTANG-PART 11 : SEPASANG CAHAYA

PART 12 : THE BEGINNING

Seorang laki-laki di atas kursi roda elektrik Tipe KP-25.2, kursi roda dengan fitur built-in multi-functional controller.
Cowok itu memakai kacamata dengan frame putih, menyambut kedatangan Irsyad dan Debo yang baru selesai registrasi dan berbincang di ruang penerimaan murid baru.
Irsyad terus memandang kursi roda tanpa berkedip, Irsyad terpana melihat display 0.75" high digits LCD pada kursi roda.
Debo mencolek supaya bersikap biasa saja.
Mang Adi baru saja bercakap-cakap dengan panitia, menghampiri Debo dan Irsyad yg duduk di kursi panjang seperti ruang tunggu.
Lelaki berkursi roda menganggap itu kode untuk melaksanakan tugasnya.

“Selamat bergabung bersama Gema Bhakti. Nama saya Riko, saya siswa kelas 8, saya disini bertugas untuk menjadi guide, Um..”
“Saya Andryos, panggil saya Debo, dan ini temen saya, Irsyad, Kak.” Sapa Debo.
Riko jengah, dingin.
Irsyad melambai tangan bilang ‘Hai’.

Riko mengoperasikan switchable controller mechanism, memutar roda kursinya lalu menoleh pada Mang Adi yang bingung harus berbuat apa.

“Bapak percayakan saja pada kami.” Seru Riko. Mang Adi terkesiap.
“Ohh iya. Eung.” Mamang Adi tampak serba salah.
Riko mendorong kacamata frame putihnya, lalu tersenyum sekedarnya. Irsyad mengangkut tas bawaan ke atas troli.

Debo merangkul Mamang Adi, berat. Mang Adi malah menitikkan air mata karena ini adalah pertama kalinya harus berpisah dengan Debo. Rasanya sangat berat.
Debo mencoba melepaskan diri dari rangkulan Mang Adi yang hampir mencekik lehernya.

Riko memperhatikan tanpa ekspresi. Terus terang, sikap Riko membuat Irsyad, Debo dan Mang Adi kikuk.
Padahal Riko tampak biasa saja dan sibuk mengatur backrest dan armrest kursi rodanya yang cukup canggih.
Agak lama Debo dan Mang Adi saling berbisik. Debo meyakinkan Mang Adi semua akan baik-baik saja.

“Kaleum we atuh, Mang. Da Dede teu kamana-kamana, nyang sakola, diajar, bergaul didieu. Moal kukumaha. (Tenang aja, Mang. Dede kan gak kemana-mana, cuma sekolah, belajar, bergaul disini. Ga kan kenapa-kenapa.)”
“Kasih kabar, ya. Tadi kata Pak Genta, tiap murid memiliki voucher menelepon gratis selama lima jam dalam sebulan. Telepon Mamang, ya. Tahu, kan nomor hape Mamang?” Debo mengangguk, dia sudah hapal.
“Jangan lupa solat, makan jangan telat.” Mang adi terus memberi petuah dan wejangan, meski dia tahu prosedur dan manajemen siswa Gema Bhakti yang sangat relevan dan Debo takjub hingga berangan hari-harinya nanti.

Mang adi mencium kening Debo, Debo jadi salah tingkah. Karena bersamaan dengan itu, 3 orang, diantaranya seorang cewek, anak cowok, dan Ibu yang berpakaian seperti wanita karier melewati mereka.
Debo tak tahan lihat pandangan cewek yang memincingkan matanya ke arah Debo, seolah sangat aneh.
Akhirnya Mang Adi hanya mampu melihat Debo dan Irsyad mengikuti Riko yang lihai menguasai kursi rodanya.

Riko terus menjelaskan beberapa peraturan umum, dan tempat-tempat di Gema Bhakti.
Mulai dari aula, trading post, bank pelajar, perpustakaan, teater pentas Button Hall, ruang serbaguna, pusat komputer, bisnis dan media. Pusat Pendidikan. Area editorial dan penerbitan untuk jurnalisme dan produksi majalah koran. Ada juga studio musik, dan stasiun radio sekolah, dan lain-lain.

Selama mereka berjalan. Irsyad celingukan lalu main lirik-lirikan dengan Debo.
Sekolah Gema Bhakti berada di ruas kiri, menjulang tidak seperti hotel di desa Debo.
Dan di ruas kanan terdapat bangunan lebih luas, dan itu adalah asrama dengan gedung seperti huruf ‘U’, karena bawahnya menyatu tetapi atasnya membentuk dua menara, dari luar seperti apartemen tak terlalu mewah tapi terlihat asri dan nyaman dengan plang besar di puncak gedung ‘GEMA BHAKTI SCHOOL’ melintang di antara dua gedung menara asrama.

Kata Riko ada sayap utara dan selatan. Sayap Utara adalah asrama putri bernama Srikandi Chambers, yang berada di menara Utara.
Dan Selatan adalah asrama putra, South Prince Palace, disingkat jadi SPP. Bangunan sekolah dan asrama disambungkan oleh jalan cukup luas, yang dilindungi oleh atap, seperti lorong di rumah sakit, dengan beberapa bangku taman di sampingnya.

Banyak tulisan berupa peringatan umum seperti ‘Dilarang Membuang Sampah Sembarangan’, ada sebuah prasasti atau monument di lobby.
Riko terus menjelaskan, dan Debo berusaha mengerti. Riko juga mengajak ke belakang gedung, sebuah taman, ada gymnasium, dan kolam renang. Debo takjub karena-nya.

Lalu mereka diajak ke halaman belakang yang luas, ada seperti rumah kaca yang menyimpan banyak tanaman hias yang dirawat bersama, tanaman obat-obatan dan bunga, tempat itu bernama Pondok Flora.
Disampingnya, terdapat sebuah bangunan agak kecil seperti kelas, namun terpisah. Di sampingnya ada pohon beringin rimbun. Debo melihat ada sebuah rumah pohon, dan tangga kayu di sepanjang batang pohon.
Melihat pintu bangunan terbuat teralis. Terdengar beberapa bunyi binatang.

“Ini kandang. Tempat peliharaan yang siswa bawa. Kau boleh membawa binatang peliharaan. Kecuali anjing. Binatang tidak boleh di bawa ke asrama ataupun ke sekolah. Bagi anak yang membawa binatang, harus membersihkan kandang, dan ada jadwal piket.” Jelas Riko. Debo mengangguk-angguk. Irsyad malah berlari. Dan terperangah memandang kuda. Ada sekitar 8 orang di kandang.

Sekitar 6 orang memakai seragam seperti Riko. Beberapa diantaranya memakai boots plastic. Membersihkan kandang, dan memberi makan hewan yang ada disana.
Debo tersenyum melihat seekor kucing yang manja menggeliat di pelukan cewek.

“Sekarang kita ke kamar kalian.” Ajak Riko. Irsyad asyik memberi makan kuda, dan pura-pura tuli saat Debo panggil, tapi akhirnya nurut juga dengan berat.
Di lobby, Debo berpapasan dengan cewek sinis dan cowok yang melihatnya dicium Mang Adi tadi sedang dipandu pemandu wanita.
Debo menunduk, entah mengapa dia malu. Tapi cewek itu cuma menoleh lalu serius mendengar pemandu-nya, seorang cewek berkerudung.
Riko menekan tombol ‘naik’ lift. Beberapa saat, pintu lift terbuka. Irsyad dan Debo canggung. Bahkan tangan mereka saling berpegangan erat karena takut.

“Kita ke lantai 3. Di lantai 1 tadi selain lobby, ada dining room, dapur. Lantai dua adalah kamar guru, pengawas, pengasuh dan staf lainnya. Kamar siswa di lantai 3 dan 4. Lantai lima hanya berupa ruang terbuka, enak mencari inspirasi. Kebetulan kalian satu kamar.”
“Memangnya satu kamar berapa orang kak?” Tanya Debo.
Mereka keluar dari lift. Ruangan terdiri dari pintu besar. Lorong cukup padat, terang. Dengan tiang-tiang dan pagar, di sisi lain berupa beranda, bisa melihat pemandangan dari sana.
“Empat. Ini kamar kalian nomor 19. Pengasuh kalian, bernama Dayat. Dia masih sibuk menjadi pemandu. Nanti juga datang.”

Debo berhenti mendorong troli, pinggangnya agak pegal. Irsyad melongok ke bawah.

“Saya pamit. Kalau ada apa-apa pergi saja ke lobby, disana ada ruang receptionist tempat pengawas asrama berjaga, ketua pengawas adalah Mrs Shinta. Saya harus kembali ke ruangan penerimaan siswa baru. Jangan lupa, troli dikembalikan ke ruang tadi.” Jelas Riko. Mengoperasikan kursi roda.
“Terima kasih, Kak.”
“Oke.” Jawab Riko, sekenanya. Dia masuk ke dalam lift.

Debo perlahan membuka kenop pintu, menjulurkan kepala mengintip ke dalam.
Irsyad tidak sabar.
Kamar mereka berukuran sekitar 4x4, terdapat dua tempat tidur tingkat, dan diantarater dapat lemari kecil setiap sisinya. Di tengahnya jendela cukup besar. Di depan ranjang, samping pintu, ada seperti meja rias dengan cermin besar, meja cukup panjang dengan dua kursi plastik.

Saat masuk, Debo baru tahu ada orang di dalam. Mereka saling memandang, lalu cowok itu senyum ramah.

“Kalian teman sekamarku, ya?” Sambutnya ramah. Debo masuk tanpa sungkan. Irsyad sibuk menurunkan tas dari troli, dan mengangkut ke dalam.
“Itu lemari dua, pilih aja salah satu. Maaf ya, aku pilih tempat tidur yang kanan, di bawah.” Cowok itu seperti sudah siap bertemu teman barunya. Kata-katanya runtut dan enak di dengar. Debo, sih, tidak keberatan.
“Kita dimana?” Debo bingung. Irsyad bersegera.
“Aku di atas ya, De. Hehe” Ucapnya, sambil mencopot sepatu.
Irsyad naik ke tempat tidur di atas. Menepuk bantal.

“Di lemari ada sarung bantal dan seprai, selimut juga. Masih wangi loh.” Tambah cowok itu lagi. Debo melihat, membuka pintu lemari pendek sampai batas, mengeluarkan seprai, selimut.
Lemari untuk Irsyad ada di depan, menempel dengan ranjang. Debo mengambilkan. Kaki Irsyad di tangga kasur, berusaha memakaikan seprai.
Cowok itu menaruh sebuah boneka ultraman di atas bantal, lalu duduk di kasur.

“Aku Obiet. Aku dari SD Pemuda Semarang. Kalian beasiswa juga ya?” Mukadimah Obiet. Badan Obiet agak kecil, terbilang imut. Wajahnya begitu sayu dan tatapan matanya lembut.
Tipe orang yang mudah mendapatkan teman.

“Aku Andryos, panggil saja Debo. Dari sukabumi. Yah. Alhamdulillah.”
“Heloow, aku Irsyad. Sama sesekolah ma dia.” Seru Irsyad yang nyaman rebahan dikasurnya.

Tiba-tiba terdengar suara orang mengetuk pintu. Debo membukakan pintu.
Alangkah kagetnya saat tahu siapa yang datang. Cowok yang bersama cewek sinis tadi.
Dia keliatan capek. Tangannya penuh membawa koper dan tas.

“Ini kamar 19, kan?” Tanyanya lemah.
“Yah.” Jawab Debo. Cowok itu masuk lalu berlagak pingsan di lantai, menimpa koper-kopernya.
“Duh, bete aku gak dianterin. Nyasar ke lantai 4 tadi. Padahal, aku anter mereka dorong troli sampe kamar. Nyari-nyari.” Keluh Cowok itu.

Obiet berjalan. Ada dispenser di atas meja panjang. Dia mengambilkan air minum dan memberikannya pada cowok itu. Seketika meneguk. Seperti orang dehidrasi parah.

“Memangnya pemandu kamu kemana?” Tanya Obiet, sambil mengambil air lagi.
“Pemandunya cewek, katanya gak bisa antar ke kamar, lha, tadi aku antar mereka sampe kamar. Mereka cuma memanfaatkan aku jadi tim angkut barang! Thanx ya.” Cecar cowok itu. Obiet baik sekali. Menyimpankan gelas.

“Aku dimana nih?” Cowok itu bangkit, melihat-lihat.
“Tinggal kasur di atasku yang kosong. Lemari tinggal yang itu.” Obiet menunjuk kasur di tingkat dua atasnya. Dan lemari yang berada nyempil di depan ranjang, samping meja bercermin besar. Cowok itu manggut-manggut, bangkit.
“Dimana aja oke,kok.”
Cowok itu langsung naik, dan tiduran. Tampaknya dia lelah dan tersiksa.

“Eh pak. Namamu siapa? Masa sekamar gak tahu nama?” Teriak Irsyad. Dia sedang asik dengan kasur baru nya.
Patton yang rebahan berbaring. Berpose ala ratu pantai.
“Haii pria di seberang sana. Aku Patton.” Patton melongok ke bawah. “Oia, kalian siapa?” Tanyanya.
“Aku Debo, aslinya sih Andryos. Kamu dari mana, Ton?”
“Jakarta-Makassar, lah” Sahut Patton. “Kamu Obiet ya?” Patton menebak.
“Kok tahu?” Obiet agak tercengang, dia merasa tidak memakai name tag.
“Itu aku baca di buku atas lemari kamu.” Sahut Patton, cuek. Obiet senyum.

Debo menelan ludah, karena Obiet sudah menata buku tulis di sampul rapi berwarna biru.
Debo mendapat gambaran bahwa Obiet anak yang perfeksionis.

“Aku Irsyad. Panggil Icad juga boleh, si ganteng boleh banget.” Irsyad narsis. Terkekeh. Patton ngakak. Sambil bercanda. “Ganteng ganteng..” Irsyad belingsatan dibuatnya.
“Oiah, aku cuma mengingatkan, kalo troli tadi harus dikembaliin ke depan ruang administrasi tadi.” Kata Obiet.

Patton melenguh. Irsyad tiba-tiba lompat dari kasur tingkat.
Debo sampe kaget ‘Astagfirullah’, dia sedang menata baju-baju nya ke dalam lemari. Irsyad cengengesan.
“Sori, De. Kesalahan teknis. Lupa berada di atas tadi. Eh, Ton, mau bareng gak balikin dorongan?” Irsyad ngeles.
Debo hanya menarik napas, dia sudah terbiasa dengan sikap Irsyad yang nyeleneh, dan dia kadang ingin seperti itu.

Patton menggeliat lalu turun sambil permisi pada Obiet. Obiet mengangguk pelan. Patton merasa perlu attitude menghadapi Obiet, karena keliatannya Obiet sangat menjunjung tinggi tata krama.

Irsyad memakai sepatu, lalu bermain-main dengan troli. Patton menyusul. Dia membereskan letak koper-kopernya yang berantakan. Mereka lalu pergi.
Debo melirik Obiet, mata mereka beradu. Obiet menyungging senyum ramah.

“Gema Bhakti, aku gak nyangka bisa masuk sekolah ini. Aku mimpiin sekolah disini sejak kelas 4!!” Kata Obiet, takjub.

Debo mengeluarkan peralatan mandinya dari kresek. Mendengarkan Obiet. “Aku juga. Ini benar-benar mimpi yang terwujud, deh. Malah, tadinya aku sempet ga boleh terima beasiswa ini, lho. Aduh, peralatan mandiku taro dimana ya?”
“Alat mandi taruh di rak rotan itu aja, ya. Disana juga ada rak handuk. Itu ada ember empat kecil, mungkin untuk tempat peralatan mandi. Aku pakai yang warna biru.” Obiet menunjuk pojok kiri samping pintu, dekat ranjang Debo dan lemari Irsyad. Ada rak rotan tingkat 4 juga rak handuk. Debo menyusun peralatan mandinya di ember kecil berwarna merah.

Obiet berdiri, lalu duduk di samping jendela. Dia menyibak gorden, dan menarik nafas panjang.
“Rak itu, baris ke 1 dan dua kita tentukan untuk tempat alat mandi. Kalau atas buat alat makan. Gimana?” Saran Obiet.

Debo menyimpan ember kecil merahnya di samping ember kecil biru, berisi peralatan mandi Obiet, tampak lebih komplit dari alat mandi milik Debo.
“Ya. Aku setuju aja.” Jawab Debo. Dia melenguh, lupa membawa perlengkapan makan.
“Ibuku membelikan rak piring. Supaya lebih teratur. Dan, kayaknya tadi lampunya agak redup. Jadi diganti.” Urai Obiet.
Dia sampai gak enak hati, takut di bilang mengatur. Debo hanya menggangguk. Dia sedikit mendadak menyiapkan barang yang dibawa. Jadi, dia tidak ingat sampai detail.

“Maaf lho, bukannya mau ngatur atau bagaimana, tapi sekarang kamar ini adalah tempat kita, kamar kita. Jadi kita juga yang harus buat nyaman. Apalagi kita individu berbeda dan baru saling kenal. Supaya lebih terorganisir aja.” Jelas Obiet. Mengira lenguhan Debo karena sikapnya.

“Iya. Aku ngerti kok. Malah aku setuju. Harus ada yang memulai.” Obiet lega mendengarnya.
Debo duduk di samping Obiet, berhadapan di daun jendela.
“Nanti kalau sedang luang. Kita buat peraturan bersama. Kamu bawa laptop?”
Debo menggeleng.
Obiet berjalan ke arah meja belajar, dibawah meja ada tingkatan sebanyak 4. Dia menarik chase laptop berwarna hitam.

“Kalau begitu, ini laptop aku. Di sekolah juga ada laboratorium computer. Tapi, kalau ada tugas kita bisa mengerjakan di asrama. Kamu boleh pakai laptop ini. Aku harap ini menjadi laptop bersama, dan kita meintance bersama.”

Debo bangkit, dia tampaknya kagum dan agak senang satu kamar dengan Obiet. Obiet pada kesan pertama tampak ramah dan wise.
Dan, debo yakin, obiet baik. Figur pemimpin, tapi tidak otoriter. Cukup bisa diandalkan.

“Senang ketemu dan bisa satu kamar denganmu, Biet.” Ucap Debo tulus. Obiet menggaruk kepala, malu.
“Aku pengen kita cepat akrab sih, rasanya gak enak kalo canggung atau kagok. Tadi temanmu Irsyad. Dia supel, ya, aku sulit seperti itu.”
Alis Debo naik, mengiyakan.

“Patton juga kayaknya asik.” Debo melihat bawaan Patton yang jauh lebih banyak dari Debo. Obiet turut melihat dengan bingung.
“Aku curiga dia membawa seluruh perkakas rumahnya.”
Obiet tertawa.
“Nanti pasti ada pemeriksaan oleh kakak pengasuh kita. Kamar 19 pengasuhnya, Kak Dayat. Moga aja dia baik ya. Aku takut dia senioritas tinggi.”
“Oh ya? Kamu tahu banyak, ya?” Debo salut.

Obiet memberinya banyak informasi. Kak Riko tidak menjelaskan dengan rinci, dan agak dingin, Debo jadi segan bertanya.

“Aku tadi tanya-tanya aja sama kakak pemandu. Asrama masih sepi karena sedang Libur sekolah usai semester. Yang ada hanya panitia penerimaan siswa baru dan OSIS. Tapi ada sih beberapa siswa yang dari daerah asal jauh, mereka gak pulang. Tapi, justru siswa dari daerah jauh itu yang banyak jadi pantia.”
“Tadi juga aku ke kandang, lihat beberapa orang. Mungkin kakak kelas.” Lanjut Debo. “Bagi yang bawa binatang mendapat jadwal piket untuk membersihkan kandang.”
“Bagus itu, supaya gak terlalu membebani petugas kebersihan, ya.” Timpal Obiet. Sambil mendekat, lalu menjulurkan tangannya.

“Beruntung banget aku sekamar denganmu. Kita berteman ya, sekarang!!” katanya.
Debo terperangah. Baru kali ini ada yg menawarkan pertemanan seperti itu. Dia meraih tangan Obiet. Dan mereka berjabat.

Awal di Gema Bhakti sangat memuaskan Debo.
Tak ada penyesalan terlintas di benaknya.
Dia berangan kehidupannya kemudian hari.
Pasti seru, menemui orang-orang baru dari asal daerah berbeda dengan karakter berbeda.

___________________________________________________________________________________
LANJUT KE FANFICT_MIMPI SANG BINTANG-PART 13 : KAMAR GADIS

Tidak ada komentar:

Posting Komentar